Menaikkan gaji 10.000 pekerja katakanlah hanya sebesar Rp 100.000 per bulan, sudah menambah beban keuangan perusahaan Rp 1 miliar per bulan atau Rp 12 miliar per tahun. Padahal, dengan kenaikan gaji, tidak ada jaminan para pekerja akan lebih produktif agar penghasilan perusahaan meningkat.
Kenaikan gaji Rp 100.000 per bulan untuk setiap pekerja, dampak turunannya masih ada, yakni kenaikan jumlah pesangon atau hak-hak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), baik karena kontraknya sudah habis, maupun jika ada PHK massal yang diadakan secara insidentil.
Adapun ketentuan pesangon untuk pekerja tetap, lebih memberatkan lagi bagi perusahaan, karena standar akuntansi yang berlaku mewajibkan perusahaan mencadangkan biaya pesangon.Â
Contohnya, katakanlah ada pekerja tetap yang sekarang berusia 30 tahun, dan akan pensiun pada usia 56 tahun. Untuk pembayaran pesangonnya nanti, perusahaan wajib mencicil cadangannya setiap tahun, agar pada masanya, dana pesangon telah tersedia.
Tak heran, dilihat dari sisi perusahaan, jelas akan jauh lebih menguntungkan bila semakin sedikit pekerja tetap dan semakin banyak pekerja kontrak. Itupun pihak perusahaan kadang-kadang agak terpaksa juga menyesuaikan gaji pekerja dengan kenaikan upah minimum terbaru yang ditetapkan pemerintah.
Makanya, bila pemerintah meminta masukan dari pengusaha untuk kenaikan upah minimum, biasanya berlangsung alot sekali. Akhirnya, mungkin saja pemerintah daerah menetapkan tingkat upah minimum dengan mengabaikan aspirasi pengusaha.
Di lain pihak, meningkatkan gaji seorang direktur dari Rp 200 juta menjadi Rp 225 juta per bulan, dengan asumsi ada 7 orang direktur, hanya meningkatkan biaya Rp 175 juta per bulan.Â
Kenaikan ini dianggap wajar bila para direktur berani menerima tantangan untuk meningkatkan laba perusahaan dari kelincahannya dalam melakukan lobi bisnis.
Dapat dipahami sebetulnya, bagaimana keberatan pihak perusahaan bila misalnya ketentuan pekerja kontrak semakin dibatasi, dalam arti perusahaan diwajibkan memperbanyak pekerja tetap dengan segala pencadangan setiap tahun untuk dibayarkan saat si pekerja tetap memasuki masa pensiun.
Tapi masalahnya, betapa "kejam"-nya dunia usaha yang cenderung kapitalistik ini (meskipun istilah ini dihindarkan pemakaiannya), yang membuahkan ketimpangan sistem penggajian. Begitulah, dengan dalih sesuai mekanisme pasar, membuat segelintir petinggi perusahaan, sah-sah saja bergaji sangat mahal.Â
Merupakan hal yang biasa, bila perbandingan gaji tertinggi dengan gaji terendah di sebuah perusahaan bisa 1:100, bahkan bisa 1:300 bila faktor tantiem direksi ikut dihitung.Â