Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sensus Penduduk dan Kisah Nelangsa Kaum Marjinal

10 Oktober 2020   13:04 Diperbarui: 13 Oktober 2020   11:20 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan pandang kaum marjinal sebagai objek, tapi mereka adalah subjek yang harus didengar aspirasinya dan terjamin hak-hak sosialnya."

Kompas (2/10/2020) menurunkan liputan tentang apa yang terjadi di lapangan saat dilakukannya sensus penduduk di tempat tertentu yang dihuni oleh kaum marjinal. Memang begitulah sensus yang ideal, semua warga, baik yang punya kartu tanda penduduk (KTP)  maupun warga "gelap", harus terdata dengan baik. 

Sebagai contoh, dari liputan Kompas tersebut, yang didatangi petugas adalah kawasan tepian Kali Krukut, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat para tunawisma merebahkan badan di malam hari di gubuk terpal bekas baliho berukuran sekitar 1 x 2 meter.

Bagi warga yang tinggal normal di rumah-rumah biasa, meskipun bertipe sangat sederhana sekalipun, tentu bisa membayangkan betapa tidak nyamannya tinggal di gubuk seperti itu. 

Tapi kenyataannya begitulah kondisi keseharian sebagian saudara kita yang masih belum beruntung, meskipun pemerintah sudah menggerakkan mesin pembangunan demi kesejahteraan rakyat.

"Bagi para petugas sendiri sungguh tidak gampang berjuang untuk menemukan dan mendata kaum marjinal. Apalagi sekarang ini dalam kondisi harus selalu mematuhi protokol kesehatan, tentu para petugas akan sangat berhati-hati."

Bukan kebetulan kalau petugas sensus mendatangi gubuk terpal itu pada malam hari dari pukul 22.00 hingga 00.00. Soalnya, kalau siang hari, pasti para penghuninya lagi memulung atau berburu pekerjaan yang sifatnya serabutan asal bisa mendapatkan uang sekadar untuk makan.

Tak heran kalau saat petugas memasuki sebuah gubuk dan menyorot ke arah dalam dengan cahaya senter yang dibawanya, terlihat para penghuninya lagi tertidur nenyak, sehingga petugas terpaksa harus berkali-kali berteriak membangunkan satu persatu warga yang tinggal di sana. 

Reaksi kaum marjinal terhadap kedatangan petugas sensus juga beragam. Ada yang mengira akan mendapat bantuan sosial, tapi ada pula yang mengira lagi diadakan razia bangunan liar. 

Petugas harus pintar-pintar menjelaskan tujuan kedatangannya dengan bahasa yang mudah dimengerti, meski petugas tak selalu berhasil melakukan tugasnya. 

Sebagai contoh, ketika petugas mau mendatangi gubuk-gubuk di Kampung Bali, yang berada di sisi belakang Stasiun Besar Tanah Abang, sebagian warga memilih kabur. Petugas sensus sengaja tidak mengejar mereka yang kabur karena khawatir mereka nyemplung ke sungai.

Sensus penduduk memang tidak dikenal oleh kaum marjinal seperti yang dialami oleh pemulung di Tanah Abang tersebut. 

Pemerintah sendiri mengadakan sensus setiap 10 tahun. Sejak Indonesia merdeka, sensus telah diadakan pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Lalu, untuk tahun 2020 ini, sensus penduduk mulai ikut menyasar kaum marjinal.

Memang, banyak kisah nelangsa dari sensus terhadap warga yang tidak punya tempat tinggal tetap itu, sehingga terkuaklah realitas lain di balik gemerlapnya Ibu Kota. 

Mereka sering tergusur dari suatu tempat ke tempat lain, namun dengan kondisi yang sama mengenaskan. Maksudnya, kondisinya sama-sama darurat, khas tempat tinggal kaum marjinal.

Seperti sebagian warga yang didatangi petugas sensus di atas, merupakan warga eks penghuni pinggir rel yang tergusur proyek pelebaran Stasiun Tanah Abang. Di titik lain, tak sedikit warga yang tidur beralas kain atau tikar di tepi jalan di pinggur sungai.

Bagi para petugas sendiri sungguh tidak gampang berjuang untuk menemukan dan mendata kaum marjinal. Apalagi sekarang ini dalam kondisi harus selalu mematuhi protokol kesehatan, tentu para petugas akan sangat berhati-hati.

Harapannya, semoga dengan terdatanya kaum yang selama ini terpinggirkan dan tersisih itu, tak ada lagi warga yang luput, atau bahkan tergilas, dalam derap pembangunan di ibu kota. 

Sungguh ironis, hanya sepelemparan batu dari jejeran gedung-gedung jangkung yang megah, terdapat "sarang" kaum marjinal dengan kondisi yang amat menyedihkan.

Kalau liputan sensus penduduk diperluas menjadi di seluruh Indonesia, maka akan didapat gambaran yang lebih utuh tentang permasalahan yang dihadapi kaum marjinal. 

Tentu pendekatan yang dilakukan terhadap warga yang tinggal di pulau-pulau kecil di kawasan terluar, atau yang hidup berpindah-pindah di pelosok hutan, akan berbeda. Dan bisa jadi kisahnya tak kalah nelangsanya.

Yang jelas, dengan melakukan sensus penduduk, sangatlah banyak manfaatnya, kita tidak ingin sensus tersebut hanya berhenti sekadar angka statistik semata, tapi betul-betul menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan di instansi terkait atau dalam merumuskan program pembanguan. 

Jangan pandang kaum marjinal sebagai objek, tapi mereka adalah subjek yang harus didengar aspirasinya dan terjamin hak-hak sosialnya. Belum cukup sekadar memberikan bantuan sosial, atau bahkan menyediakan tempat tinggal.

Di banyak negara maju, sensus penduduk dilakukan sekali 5 tahun. Tapi, untuk kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak sekali pulau yang pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Maka dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus, disebutkan bahwa kegiatan Sensus Penduduk dilakukan sekurang-kurangnya setiap sepuluh tahun.

Artinya, bila mau sekali 5 tahun, boleh-boleh saja. Hanya harus dipertimbangkan dengan kemampuan keuangan negara. Perlu diketahui, untuk sensus tahun ini telah dianggarkan biaya sebesar Rp 4 triliun.

Dari hasil sensus 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat  sebanyak 237.556.363 orang. Tahun ini, para pakar memperkirakan jumlah penduduk Indonesia menjadi sekitar 267 juta jiwa. Berapa angka pastinya, kita tunggu hasil sensus tahun ini.

Tapi apakah itu betul-betul pasti? Ya, paling tidak, sudah mendekati kepastian dengan margin of error sangat kecil, mengingat masih ada kaum marjinal yang tidak mau didatangi petugas sensus atau yang tidak ditemukan petugas.

Terlepas dari apapun hasilnya, apresiasi yang setinggi-tingginya pantas dialamatkan kepada para petugas sensus yang tak kenal lelah melaksanakan tugasnya, terutama yang menyasar kaum marjinal, di tengah pandemi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun