Penolakan tersebut sekaligus juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan, bila antar menteri, yang secara hirarki sebetulnya satu level, berbeda pendapat.
Logikanya, Menteri Perindustrian bila masih tidak puas, bisa membawa hal ini ke Presiden. Jika Presiden setuju, tentu akan memberikan instruksi kepada Menteri Keuangan yang tidak bisa ditolak lagi.
Berbicara soal ekonomi yang lesu, tidak hanya sektor otomotif yang terpukul. Properti pun demikian juga. Padahal, harga properti dan juga sewa rumah atau ruang kantor mengalami penurunan akibat lemahnya permintaan.Â
Hal ini semakin menegaskan bahwa dampak pandemi sekarang ini sungguh luar biasa. Jadi, anggapan masyarakat harga properti selalu naik, secara umum memang betul, tapi ada masa-masa pengecualian seperti yang saat ini terjadi.
Kita masih menunggu langkah terobosan apa yang dilakukan pemerintah untuk kembali menggairahkan perekonomian. UU Cipta Kerja yang digadang-gadang menjadi strategi jitu, masih tanda tanya dengan begitu gencarnya penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya para pekerja dan mahasiswa.Â
Sementara itu, deflasi sudah berlangsung dua kuartal, artinya kita sudah masuk masa resesi. Ini resesi yang agak lain karena bukan diiringi inflasi yang tinggi, tapi justru deflasi yang artinya secara umum terjadi penurunan harga barang, mulai dari bahan pangan produk para petani hingga mobil yang jadi produk perusahaan besar.Â
Jangan berpikir bila harga barang turun, pasti masyarakat senang. Masalahnya, daya beli masyarakat juga tidak memadai, barang murah pun tidak terbeli. Yang gigit jari adalah mereka yang mencari nafkah dari berjualan, dari skala kecil seperti pedagang kaki lima, hingga dealer mobil dan agen properti.Â
Semoga badai pandemi cepat berlalu, lalu perlahan-lahan kondisi kembali normal dan perekonomian nasional pulih lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H