Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penangkapan Aktivis dan Bumerang Media Sosial

14 Oktober 2020   19:51 Diperbarui: 14 Oktober 2020   19:54 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah beberapa hari terakhir ini, di berbagai kota di tanah air terjadi demonstrasi besar-besaran terkait dengan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR. Sayangnya, di sejumlah tempat, demonstrasi berujung dengan kericuhan dan perusakan fasilitas publik.

Di Jakarta, beberapa halte bus dan stasiun MRT dirusak, yang justru menyusahkan masyarakat pengguna transportasi publik. Boleh jadi aksi demonstrasi yang tujuan awalnya untuk menyampaikan aspirasi, telah disusupi oleh oknum yang memang dari awal bertujuan membuat aksi anarkis.

Perkembangan terakhir, pihak kepolisian mulai bertindak tegas, antara lain dengan menangkap sejumlah aktivis. Alasan penangkapan tidak dihubungkan secara langsung dengan aksi demonstrasi di lapangan, tapi diduga karena aktivitas di media sosial mengingat menurut keterangan pihak kepolisian berkaitan dengan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).

Penangkapan tersebut dilakukan di tengah kesimpangsiuran berita tentang siapa otak di balik demonstrasi besar-besaran itu. Kelompok KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), Partai Demokrat, bahkan pihak asing disebut-sebut ada di belakang layar. Mantan Presiden SBY yang gerah karena Demokrat dibawa-bawa, telah membantah dan meninta pemerintah mengumumkan siapa yang dituding sebagai dalang kerusuhan.

Terlepas dari soal penangkapan di atas, dari siaran berita di televisi, terungkap bahwa banyak anak sekolah yang ikut-ikutan berdemonstrasi karena menerima pesan ajakan yang masuk ke ponselnya. Bisa jadi ajakan tersebut berisi hal yang tidak didukung oleh fakta, namun si penerima pesan berkobar semangatnya untuk ikut unjuk rasa.

Begitulah, saat ini demikian gampang untuk membentuk opini publik. Konten yang bernada menghasut bertebaran di media sosial. Parahnya, konten tersebut begitu dibaca oleh seseorang, tanpa mengecek dulu kebenarannya, langsung disebar ke berbagai grup pertemanan di dunia maya. Tak heran kalau daya sebarnya demikian cepat.

Dalam kaitannya dengan RUU Cipta Kerja, bila media sosial digunakan untuk ajang diskusi yang sehat antar mereka yang sudah membaca secara utuh RUU tersebut, tentu merupakan hal yang positif. Sebagai negara yang demokratis, negara kita menjamin kebebasan berpendapat. 

Tapi jika diskusi itu didominasi oleh kalimat sumpah serapah, apalagi bila akhirnya menyerempet soal SARA, jelas berbahaya bagi persatuan nasional. Gesekan antar sesama anak bangsa yang berpotensi memecah belah, tentu amat disayangkan.

Bahkan, kalaupun warga Indonesia bersatu dan lawannya di media sosial adalah negara lain, tetap bukan hal yang baik. Sebagai contoh, warganet Indonesia pada September lalu ramai-ramai menghujat negara Vanuatu, sebuah negara kecil berupa kepulauan di Samudra Pasifik. Pasalnya, Vanuatu menghendaki Papua lepas dari pangkuan ibu pertiwi.

Serangan warganet Indonesia itu sebagian sudah memperlihatkan perilaku rasisme. Memang, sebetulnya rasisme di media sosial sudah marak terjadi sejak beberapa tahun lalu. Hal ini tidak terjadi di Indonesia saja, namun juga di berbagai belahan dunia, termasuk di negara maju.

Sebagai contoh, pada tahun 2014, sebuah lembaga pemerhati jejaring sosial di London, Inggris, mengatakan bahwa setiap hari lebih dari 10.000 ungkapan rasisme yang terpantau. Itu baru lewat Twitter saja (republika.co.id, 16/2/2014).

Hanya saja, semakin hari sikap rasisme tersebut bukan semakin berkurang, tapi justru makin bertambah banyak dan cenderung tidak terkendali. Kematangan bermedia sosial rupanya sangat sulit terwujud, dan berbagai letupan yang terjadi tidak diambil hikmahnya sebagai pelajaran. 

Pantaslah kalau dikatakan, jika media sosial digunakan secara membabi buta, akan menjadi bumerang, karena biasanya akan memicu serangan balasan dari pihak yang tidak senang. Lalu begitu seterusnya, berbalas-balasan sampai entah kapan.

Indonesia termasuk salah satu negara yang masyarakatnya banyak yang kecanduan media sosial, dan sebagian di antaranya menuliskan komentar, gambar, atau dalam bentuk lainnya, yang dapat dikategorikan sebagai menghina secara online. Pihak yang dihina bisa individu tertentu, bisa pula kelompok tertentu, bahkan juga etnis atau bangsa tertentu.

Ada berbagai istilah dalam perilaku negatif bermedia sosial, seperti perisakan (bullying), penghinaan fisik (body shaming) dan ujaran kebencian (hate speech). Pepatah lama yang mengatakan "mulutmu adalah harimaumu", ternyata tidak lagi digunakan, sehingga tanpa sadar (bahkan bisa saja dengan penuh kesadaran), jari-jari seorang yang lincah dalam bermedia sosial telah menjelma menjadi "harimau" masa kini.

Kampanye untuk bijak dalam menggunakan media sosial, seperti tenggelam dalam hiruk pikuk kata-kata kasar bernada hasutan. Makanya, cukup tepat kalau aparat kepolisian mulai lebih tegas dalam bertindak. Tapi, sekali lagi, tujuannya bukan untuk membungkam kebebasan berpendapat, melainkan mencegah tindakan anarkis.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun