Hanya saja, semakin hari sikap rasisme tersebut bukan semakin berkurang, tapi justru makin bertambah banyak dan cenderung tidak terkendali. Kematangan bermedia sosial rupanya sangat sulit terwujud, dan berbagai letupan yang terjadi tidak diambil hikmahnya sebagai pelajaran.Â
Pantaslah kalau dikatakan, jika media sosial digunakan secara membabi buta, akan menjadi bumerang, karena biasanya akan memicu serangan balasan dari pihak yang tidak senang. Lalu begitu seterusnya, berbalas-balasan sampai entah kapan.
Indonesia termasuk salah satu negara yang masyarakatnya banyak yang kecanduan media sosial, dan sebagian di antaranya menuliskan komentar, gambar, atau dalam bentuk lainnya, yang dapat dikategorikan sebagai menghina secara online. Pihak yang dihina bisa individu tertentu, bisa pula kelompok tertentu, bahkan juga etnis atau bangsa tertentu.
Ada berbagai istilah dalam perilaku negatif bermedia sosial, seperti perisakan (bullying), penghinaan fisik (body shaming) dan ujaran kebencian (hate speech). Pepatah lama yang mengatakan "mulutmu adalah harimaumu", ternyata tidak lagi digunakan, sehingga tanpa sadar (bahkan bisa saja dengan penuh kesadaran), jari-jari seorang yang lincah dalam bermedia sosial telah menjelma menjadi "harimau" masa kini.
Kampanye untuk bijak dalam menggunakan media sosial, seperti tenggelam dalam hiruk pikuk kata-kata kasar bernada hasutan. Makanya, cukup tepat kalau aparat kepolisian mulai lebih tegas dalam bertindak. Tapi, sekali lagi, tujuannya bukan untuk membungkam kebebasan berpendapat, melainkan mencegah tindakan anarkis.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H