Berdiam diri di rumah karena pandemi, mungkin membuat banyak orang merasa terpenjara. Makanya, kalau dibaca celutukan ibu-ibu di media sosial, diam-diam tetap ada kegiatan dalam komunitas mereka. Ada yang melakukan arisan bulanan, pengajian bersama, bahkan ada yang berani berwisata ke luar kota.
Toh, tidak sulit melacak kegiatan komunitas tersebut. Coba saja berselancar di dunia maya, bertebaran foto dan video berbagai komunitas. Ternyata kebijakan penerapan pembatasan sosial, bukan menjadi penghalang, meskipun frekuensi pertemuan dalam satu komunitas telah berkurang
Tapi bukan soal arisan atau pengajian yang akan dibahas pada tulisan ini. Ada banyak sekali komunitas, baik yang sekadar hepi-hepi seperti berwisata bersama, maupun yang ada manfaatnya bagi kesehatan seperti komunitas bersepeda. Namun ada juga yang punya tujuan mulia, yang memperjuangkan literasi bagi anak-anak kaum marjinal.
Seperti diketahui, meskipun pemerintah sudah melaksanakan program wajib belajar, faktanya masih banyak anak-anak kaum marjinal yang belum pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Kalaupun sekolah, tak sampai lulus SD. Dan itu gampang ditemukan di berbagai tempat, dari kota besar hingga di pelosok.
Hal yang memprihatinkan tersebut, syukurnya membuat ada saja seseorang yang merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu dalam rangka memutus rantai pendidikan rendah. Salah satu contoh adalah seperti kisah inspiratif yang dimuat Kompas (2/10/2020).
Disebutkan bahwa seorang anak muda, Bima Prasetyo Adi, yang masih berusia 29 tahun, selama 10 tahun terakhir ini menjalankan komunitas peduli pendidikan anak. Komunitasnya bernama "Sebersy" yang berada di Bogor, Jawa Barat.
Sebersy bukan sekadar nama, namun berarti "Sekolah Bersama Yuk". Bima sungguh berbeda dengan anak muda kebanyakan. Bayangkan, di usianya yang masih 19 tahun, masih berstatus mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB), hatinya trenyuh setiap pulang kuliah melihat anak-anak usia sekolah memulung sampah.
Suatu kali, Bima mendatangi anak-anak itu dan mengajak mereka ngobrol. Akhirnya Bima mengerti, anak-anak itu memulung untuk mencari uang memenuhi kebutuhan sekolahnya. Dari situlah Bima tergerak untuk membantu, dengan mengajak teman-teman mahasiswa yang biasa mengajar anak-anak.
Tentu saja tidak gampang bagi Bima dan kawan-kawannya untuk bisa konsisten membantu anak-anak kaum marjinal, harus melewati jatuh bangun. Soalnya, tidak saja mengajar, mencari donasi pun harus dilakoninya. Awal didirikan, Sebersy dapat pinjaman ruangan di salah satu SD negeri di Bogor, sekaligus dapat alat-alat sekolah.
Ketika pihak sekolah tidak lagi meminjamkan ruangan, beruntung ada warga yang telah merasakan manfaat kegiatan komunitas Sebersy, meminjamkan teras rumahnya untuk kegiatan belajar.Â
Kemudian Sebersy dapat donasi dari sponsor untuk mengontrak rumah kecil, hingga akhirnya ada warga yang mewakafkan tanahnya untuk tempat belajar, yang sampai sekarang masih digunakan.
Sayangnya, karena pandemi Covid-19, kegiatan belajar di Sebersy nyaris tidak ada, padahal anak-anak sudah merindukannya. Biasanya, mereka belajar seminggu dua kali. Tidak saja belajar pelajaran di sekolah seperti Matematika dan Bahasa Indonesia, juga belajar mengoperasikan komputer dan membaca buku di perpustakaan yang ada di tempat itu.
Bima dan teman-temannya juga mengadakan kegiatan asuransi sampah setiap hari Minggu, ketika "markas"-nya tersebut tidak dipakai oleh anak-anak untuk belajar.Â
Asuransi itu agak unik, di mana orang tua murid menyetor sampah yang dihitung dengan sejumlah poin. Jika poinnya sudah terkumpul dalam batas tertentu, bisa ditukarkan dengan pakaian seragam sekolah atau alat sekolah.
Kembali ke halangan karena pandemi, Bima tidak berputus asa. Saat ini Bima dan teman-temannya sedang menyiapkan bahan pembelajaran secara daring. Tapi mengingat kuota internet anak-anak yang terbatas, Bima memberikan materi tersebut lewat Google Classroom.
Aktivitas Bima sangat didukung oleh  orangtuanya yang berasal dari keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab dan peduli pada sesama. Terwujudnya kesetaraan dan kebahagiaan dalam lingkungan, menjadi harapan besar Bima yang ingin konsisten bergerak di dunia pendidikan.
Kegiatan seperti yang dilakukan Bima, terdapat juga di berbagai tempat. Kisah tentang sekolah di kolong jembatan di Jakarta Utara atau di masjid yang ada di terminal bus Depok, Jawa Barat, pernah diliput media massa.
Namun demikian, bukan karena ingin diliput, para penggiat literasi bagi anak-anak kaum marjinal melakukan programnya. Bahkan, boleh dikatakan mereka berjuang di jalan sunyi.Â
Semakin banyak penggiat literasi bagi kaum marjinal, tentu saja semakin baik dalam rangka mempercepat terciptanya pemerataan pendidikan, sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H