Sayangnya, karena pandemi Covid-19, kegiatan belajar di Sebersy nyaris tidak ada, padahal anak-anak sudah merindukannya. Biasanya, mereka belajar seminggu dua kali. Tidak saja belajar pelajaran di sekolah seperti Matematika dan Bahasa Indonesia, juga belajar mengoperasikan komputer dan membaca buku di perpustakaan yang ada di tempat itu.
Bima dan teman-temannya juga mengadakan kegiatan asuransi sampah setiap hari Minggu, ketika "markas"-nya tersebut tidak dipakai oleh anak-anak untuk belajar.Â
Asuransi itu agak unik, di mana orang tua murid menyetor sampah yang dihitung dengan sejumlah poin. Jika poinnya sudah terkumpul dalam batas tertentu, bisa ditukarkan dengan pakaian seragam sekolah atau alat sekolah.
Kembali ke halangan karena pandemi, Bima tidak berputus asa. Saat ini Bima dan teman-temannya sedang menyiapkan bahan pembelajaran secara daring. Tapi mengingat kuota internet anak-anak yang terbatas, Bima memberikan materi tersebut lewat Google Classroom.
Aktivitas Bima sangat didukung oleh  orangtuanya yang berasal dari keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab dan peduli pada sesama. Terwujudnya kesetaraan dan kebahagiaan dalam lingkungan, menjadi harapan besar Bima yang ingin konsisten bergerak di dunia pendidikan.
Kegiatan seperti yang dilakukan Bima, terdapat juga di berbagai tempat. Kisah tentang sekolah di kolong jembatan di Jakarta Utara atau di masjid yang ada di terminal bus Depok, Jawa Barat, pernah diliput media massa.
Namun demikian, bukan karena ingin diliput, para penggiat literasi bagi anak-anak kaum marjinal melakukan programnya. Bahkan, boleh dikatakan mereka berjuang di jalan sunyi.Â
Semakin banyak penggiat literasi bagi kaum marjinal, tentu saja semakin baik dalam rangka mempercepat terciptanya pemerataan pendidikan, sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H