Masalah komersialisasi pendidikan tinggi sebetulnya sudah lagu lama, terutama bila kita menyoroti begitu mahalnya biaya yang harus dibayarkan mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS). Sejak era Orde Baru, keluhan orangtua mahasiswa sudah banyak terdengar, sehingga hanya anak orang kaya yang bisa kuliah di PTS.
Dulu, sampai era 1980-an, "bisnis" pendidikan tinggi tidak dilakukan secara terang-terangan. PTS yang terkenal pun, awalnya dirintis oleh individu tertentu atau yayasan yang betul-betul bergerak di bidang pendidikan, bukan bagian dari kelompok bisnis tertentu.
Pembangunan kampus dilakukan secara bertahap, seiring dengan makin bertambahnya mahasiswa yang kuliah di suatu PTS. Ketika itu, di Jakarta, PTS yang terkenal antara lain Universitas Trisakti, Tarumanegara, Krisnadwipayana, Atmajaya, UKI, Jayabaya, Pancasila, Nasional, dan Borobudur.Â
Kemudian muncul perguruan tinggi yang awalnya mengembangkan bidang teknologi informasi dan selanjutnya berkembang jadi universitas seperti Budi Luhur, Gunadarma, dan Bina Nusantara.
Di antara nama-nama PTS di atas, sekarang sebagian masih berkibar, sebagian lagi mulai berkurang pamornya, disalib pendatang baru yang lahir di penghujung orde baru dan pada era reformasi, yang berkolaborasi dengan kelompok bisnis tertentu. Ketika itu, para konglomerat mulai melirik dunia pendidikan. Bisa jadi awalnya sebagai perwujudan tanggung jawab sosial, namun bisa juga malah menjadi lahan bisnis baru mereka.
Beberapa nama PTS yang ada kaitannya dengan kelompok bisnis, seperti Universitas Mercu Buana, Sahid, Bakrie, Ciputra, President, Pelita Harapan, Sampoerna, dan sebagainya.Â
Tak ketinggalan pula sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) mendirikan universitas sendiri seperti yang dilakukan Telkom, Pertamina, PLN, Bank Mandiri, BRI dan BNI, yang disebut sebagai corporate unversity.
Dan sekarang berhembus kencang isu akan masuknya sejumlah universitas asing ke Indonesia. Belum begitu jelas, apakah pihak asing itu akan membuka semacam kelas jauh, atau sekadar bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau PTS yang sudah ada.
Di lain pihak, harus diakui, PTN masih menjadi pilihan pertama bagi calon mahasiswa yang ingin kuliah di dalam negeri. Perlu diketahui, tidak sedikit orang tua dari kalangan menengah ke atas yang sudah merencanakan menguliahkan anaknya di luar negeri. Tapi, untuk dalam negeri, PTN secara umum lebih dicari.
Fenomena tersebut lah yang membuat PTN memanfaatkan untuk ikut-ikutan mencicipi manisnya uang setoran mahasiswa. Sekarang ini, biaya kuliah di PTN sudah relatif mahal, jauh berbeda dengan kondisi tahun 1980-an, meskipun misalnya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) tahun 1980-an dikalikan puluhan kali lipat (karena faktor inflasi), tetap saja lebih murah dari saat ini.
Jika pihak PTN ditanya keberpihakannya pada mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah, jawabannya tersedia beasiswa bagi yang memenuhi kriteria.Â
Lagipula, penetapan uang kuliah telah dibedakan sesuai tingkat penghasilan orang tua. Masalahnya, yang kuliah di PTN sekarang sudah dominan orang kaya, yang kuliah membawa mobil pribadi dan kos di apartemen elit.
Mereka yang kaya inilah yang secara tak langsung dibidik oleh PTN yang menyelenggarakan kelas internasional atau bagi mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri. Apapun istilahnya, tidak terhindarkan lagi, kesan bahwa PTN ikut menangguk untung, gampang dirasakan masyarakat.
Nah, jelaslah, isu komersialisasi pendidikan perlu didudukkan secara jelas. Pertanyaannya, PTN atau PTS itu lembaga bisnis atau bukan? Jika melihat badan hukumnya, jelas bukan perusahaan.Â
Tak ada disebut universitas yang dikelola oleh sebuah perseroan terbatas (PT). Pun tidak ada PTN yang menjadi BUMN. Sedangkan PTS pada umumnya dikelola oleh yayasan yang menaunginya.
Bahkan, jika kembali ke falsafah pendidikan tinggi di negara kita, yang lazim disebut dengan "Tridarma Perguruan Tinggi", tak satupun yang tersirat misi untuk mencari keuntungan.Â
Seperti diketahui, tridarma perguruan tinggi itu terdiri dari: (1) pendidikan dan pengajaran bagi anak bangsa, (2) penelitian dan pengembangan untuk memajukan ilmu pengetahuan, dan (3) pengabdian kepada masyarakat.
Alangkah tepatnya bila dunia pendidikan tinggi kita kembali ke khittahnya. Bahwa PTN/PTS perlu penghasilan yang memadai untuk menutupi biaya operasionalnya, tentu bisa dipahami. Namun, bila tujuannya untuk mencari keuntungan (meskipun istilahnya diganti dengan surplus dana), rasanya sudah salah arah.
Atas dasar itulah, keputusan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mencabut kluster pendidikan dalam RUU tersebut, pantas diapresiasi, seperti ditulis dalam Tajuk Rencana harian Kompas (26/9/2020).
Dengan demikian, paling tidak, kekhawatiran bahwa pendidikan tinggi akan menjadi komoditas yang diletakkan dalam konteks investasi, untuk sementara tiada lagi.Â
Kalaupun nantinya perguruan tinggi asing boleh masuk, pertimbangannya bukan faktor ekonomi atau bisnis, melainkan daya akselerasinya bagi implementasi tridarma perguruan tinggi di negara kita tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H