Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Komersialisasi Pendidikan Tinggi dan Hubungannya dengan Konglomerat, PTN, dan BUMN

1 Oktober 2020   00:07 Diperbarui: 1 Oktober 2020   05:10 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah komersialisasi pendidikan tinggi sebetulnya sudah lagu lama, terutama bila kita menyoroti begitu mahalnya biaya yang harus dibayarkan mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS). Sejak era Orde Baru, keluhan orangtua mahasiswa sudah banyak terdengar, sehingga hanya anak orang kaya yang bisa kuliah di PTS.

Dulu, sampai era 1980-an, "bisnis" pendidikan tinggi tidak dilakukan secara terang-terangan. PTS yang terkenal pun, awalnya dirintis oleh individu tertentu atau yayasan yang betul-betul bergerak di bidang pendidikan, bukan bagian dari kelompok bisnis tertentu.

Pembangunan kampus dilakukan secara bertahap, seiring dengan makin bertambahnya mahasiswa yang kuliah di suatu PTS. Ketika itu, di Jakarta, PTS yang terkenal antara lain Universitas Trisakti, Tarumanegara, Krisnadwipayana, Atmajaya, UKI, Jayabaya, Pancasila, Nasional, dan Borobudur. 

Kemudian muncul perguruan tinggi yang awalnya mengembangkan bidang teknologi informasi dan selanjutnya berkembang jadi universitas seperti Budi Luhur, Gunadarma, dan Bina Nusantara.

Di antara nama-nama PTS di atas, sekarang sebagian masih berkibar, sebagian lagi mulai berkurang pamornya, disalib pendatang baru yang lahir di penghujung orde baru dan pada era reformasi, yang berkolaborasi dengan kelompok bisnis tertentu. Ketika itu, para konglomerat mulai melirik dunia pendidikan. Bisa jadi awalnya sebagai perwujudan tanggung jawab sosial, namun bisa juga malah menjadi lahan bisnis baru mereka.

Beberapa nama PTS yang ada kaitannya dengan kelompok bisnis, seperti Universitas Mercu Buana, Sahid, Bakrie, Ciputra, President, Pelita Harapan, Sampoerna, dan sebagainya. 

Tak ketinggalan pula sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) mendirikan universitas sendiri seperti yang dilakukan Telkom, Pertamina, PLN, Bank Mandiri, BRI dan BNI, yang disebut sebagai corporate unversity.

Dan sekarang berhembus kencang isu akan masuknya sejumlah universitas asing ke Indonesia. Belum begitu jelas, apakah pihak asing itu akan membuka semacam kelas jauh, atau sekadar bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau PTS yang sudah ada.

Di lain pihak, harus diakui, PTN masih menjadi pilihan pertama bagi calon mahasiswa yang ingin kuliah di dalam negeri. Perlu diketahui, tidak sedikit orang tua dari kalangan menengah ke atas yang sudah merencanakan menguliahkan anaknya di luar negeri. Tapi, untuk dalam negeri, PTN secara umum lebih dicari.

Fenomena tersebut lah yang membuat PTN memanfaatkan untuk ikut-ikutan mencicipi manisnya uang setoran mahasiswa. Sekarang ini, biaya kuliah di PTN sudah relatif mahal, jauh berbeda dengan kondisi tahun 1980-an, meskipun misalnya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) tahun 1980-an dikalikan puluhan kali lipat (karena faktor inflasi), tetap saja lebih murah dari saat ini.

Jika pihak PTN ditanya keberpihakannya pada mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah, jawabannya tersedia beasiswa bagi yang memenuhi kriteria. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun