Saya beberapa kali membaca puisi Khalil Gibran yang berjudul "Anakmu Bukanlah Milikmu". Secara umum saya memahami bahwa puisi tersebut menghendaki orang tua yang tidak mendikte anak-anaknya, karena mereka punya dunianya sendiri.
Namun demikian, tak urung saya sering mencemaskan masa depan ketiga anak saya. Yang sulung kendati telah menamatkan kuliahnya, tak tertarik bekerja secara formal, lebih asyik di bidang desain grafis, tapi baru sesekali menerima pesanan dari teman-temannya sendiri dengan harga pertemanan.
Anak saya yang tengah, memang bekerja sebagai orang kantoran, seperti yang saya inginkan. Tapi, ia sering mengeluh tidak betah dengan pekerjaannya.Â
Di perusahaan pertama, ia hanya tahan selama 6 bulan, lalu menganggur 3 bulan, dan sekarang sudah 6 bulan bekerja di perusahaan sekuritas.
Impian anak saya tersebut bekerja hanya untuk mengumpulkan tabungan, nantinya tetap menginginkan berkarier di bidang musik atau bidang lain yang bersinggungan dengan musik. Sekarang pun, sepulang dari kantor, ia sering latihan main band dengan teman-temannya.
Anak bungsu saya sudah berada di semester 7, kuliahnya di jurusan yang memang ia minati, broadcasting. Sekarang ia lagi magang di sebuah perusahaan production house. Ia juga sudah menyatakan tidak tertarik jadi orang kantoran.
Tanpa saya arahkan, mereka bertiga relatif kompak membuat video saat anak yang nomor dua lagi main musik. Saya tidak tahu, video tersebut diunggah di mana, dan sudah berapa banyak warganet yang menonton tayangannya. Jujur, saya memang kurang aktif dalam bermedia sosial.
Tampaknya, ketiga anak saya tidak menginginkan pekerjaan formal yang terkungkung oleh rutinitas, tapi menyukai bidang yang sekarang disebut sebagai industri kreatif. Tak ada yang salah menurut saya. Ada banyak orang yang sukses dan hidup mapan dari industri kreatif.
Namun jangan dilupakan, lebih banyak lagi orang yang sudah bersusah payah berkarya, tapi harus selalu bersabar sampai entah kapan, karena industri yang berkaitan dengan popularitas itu tidak bisa diprediksi hasilnya secara matematis.
Itulah yang kadang-kadang saya cemaskan, apakah anak-anak saya mampu menyandarkan hidupnya sampai tua dari industri kreatif tersebut?
Saya mengakui, jika memberikan pandangan kepada orang lain, saya relatif lancar menjelaskan betapa prospektifnya bila berwirausaha, seperti memulai bisnis dari skala kecil, karena latar belakang pendidikan saya adalah fakultas ekonomi dan sering mengikuti berita bisnis di media massa.
Industri kreatif juga menjadi bagian dari wirausaha yang sering pula saya sarankan kepada orang-orang yang saya nilai punya bakat. Bahkan, tulisan saya di Kompasiana, beberapa di antaranya berupa tip dalam membangun wirausaha, termasuk juga industri kreatif.
Tapi, mampu menceramahkannya atau menuliskannya, bukan berarti otomatis mampu melakukannya. Begitulah, kalau saya misalnya mau memulai usaha sendiri, saya akan gelagapan, meskipun paham secara teoritis. Mungkin karena itu juga, ketika ketiga anak saya memperlihatkan kemauannya berusaha sendiri, saya yang seharusnya senang, malah cemas.
Padahal, bila berbicara dengan pendekatan ilmu ekonomi, justru para lulusan perguruan tinggi sebaiknya didorong untuk berwirausaha yang jika berhasil akan menciptakan lapangan kerja. Bukannya berbondong-bondong melamar menjadi orang kantoran, yang jika tidak lolos seleksi, malah menambah panjang daftar pengangguran.
Masalahnya, orang-orang dari generasi lama seperti saya, terlanjur punya gambaran menjadi orang kantoran, baik pegawai negeri, karyawan BUMN atau swasta yang sudah punya nama, lebih terjamin hidupnya. Bahkan, saat pensiun pun akan menerima uang pensiun bulanan.
Akhirnya, puisi Khalil Gibran juga yang saya resapi untuk menenangkan pikiran dan ikhlas mendukung seratus persen apa yang menjadi kemauan anak-anak saya. Soal apakah nanti akan jadi profesi  yang jadi sandaran hidupnya, biarlah waktu yang akan menjawabnya.Â
Biarlah mereka melewati proses jatuh bangun, agar mampu melewati tantangan dalam menggapai impiannya, impian anak sekarang, yang berbeda dengan impian orang tua seperti saya.Â
Makanya saya juga tidak banyak memberi arahan, selain dukungan dan menyediakan fasilitas semampunya. Tentu juga doa agar mereka berhasil.
Biarlah mereka menemukan jati dirinya, terlepas dari bayang-bayang pemikiran orang tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H