Saya mengakui, jika memberikan pandangan kepada orang lain, saya relatif lancar menjelaskan betapa prospektifnya bila berwirausaha, seperti memulai bisnis dari skala kecil, karena latar belakang pendidikan saya adalah fakultas ekonomi dan sering mengikuti berita bisnis di media massa.
Industri kreatif juga menjadi bagian dari wirausaha yang sering pula saya sarankan kepada orang-orang yang saya nilai punya bakat. Bahkan, tulisan saya di Kompasiana, beberapa di antaranya berupa tip dalam membangun wirausaha, termasuk juga industri kreatif.
Tapi, mampu menceramahkannya atau menuliskannya, bukan berarti otomatis mampu melakukannya. Begitulah, kalau saya misalnya mau memulai usaha sendiri, saya akan gelagapan, meskipun paham secara teoritis. Mungkin karena itu juga, ketika ketiga anak saya memperlihatkan kemauannya berusaha sendiri, saya yang seharusnya senang, malah cemas.
Padahal, bila berbicara dengan pendekatan ilmu ekonomi, justru para lulusan perguruan tinggi sebaiknya didorong untuk berwirausaha yang jika berhasil akan menciptakan lapangan kerja. Bukannya berbondong-bondong melamar menjadi orang kantoran, yang jika tidak lolos seleksi, malah menambah panjang daftar pengangguran.
Masalahnya, orang-orang dari generasi lama seperti saya, terlanjur punya gambaran menjadi orang kantoran, baik pegawai negeri, karyawan BUMN atau swasta yang sudah punya nama, lebih terjamin hidupnya. Bahkan, saat pensiun pun akan menerima uang pensiun bulanan.
Akhirnya, puisi Khalil Gibran juga yang saya resapi untuk menenangkan pikiran dan ikhlas mendukung seratus persen apa yang menjadi kemauan anak-anak saya. Soal apakah nanti akan jadi profesi  yang jadi sandaran hidupnya, biarlah waktu yang akan menjawabnya.Â
Biarlah mereka melewati proses jatuh bangun, agar mampu melewati tantangan dalam menggapai impiannya, impian anak sekarang, yang berbeda dengan impian orang tua seperti saya.Â
Makanya saya juga tidak banyak memberi arahan, selain dukungan dan menyediakan fasilitas semampunya. Tentu juga doa agar mereka berhasil.
Biarlah mereka menemukan jati dirinya, terlepas dari bayang-bayang pemikiran orang tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H