Ada istilah dalam penyusunan perundang-undangan yang sekarang sering mengemuka, yakni omnibus law. Maksudnya kurang lebih sebagai Undang-Undang (UU) yang bersifat sapu jagat, cakupannya luas karena bersentuhan dengan berbagai macam topik, serta mengamandemen, memangkas, dan/atau mencabut sejumlah UU lain.
Terdapat 3 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bersifat sapu jagat itu, yang tengah digarap pemerintah bersama DPR, yakni RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Yang paling banyak disorot dari ketiga RUU di atas adalah RUU tentang Cipta Kerja. Banyak organisasi buruh atau serikat pekerja yang menyampaikan keberatannya karena dinilai terlalu berpihak pada keinginan pemodal dan kurang mengakomodir hak-hak pekerja.
Tulisan ini tidak bermaksud mengangkat topik soal tenaga kerja, namun berkaitan dengan RUU tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan. Soalnya, rumor tentang akan dibubarkannya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat mencuat belum lama ini.
Seperti diberitakan cnbcindonesia.com (7/7/2020), rumor itu terjadi setelah Reuters pada Kamis (2/7/2020) menuliskan hal tersebut. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) soal OJK dikabarkan akan mengembalikan lagi tugas dan fungsi Bank Indonesia (BI) sebagai instansi penelitian, pengaturan, dan pengawasan perbankan yang pada tahun 2013 lalu dipindahkan ke OJK.Â
Namun berdasarkan pelacakan cnbcindonesia, Perppu dimaksud tidak ada. Yang dipersiapkan adalah Perppu tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kalau memang tidak ada Perppu tentang pembubaran OJK tersebut, ada yang berspekulasi akan diakomodir oleh RUU tentang sektor keuangan di atas.
Sebetulnya, yang mendapat sorotan tajam dari sejumlah pengamat, bukan kemampuan OJK dalam mengawasi perbankan, namun terhadap lembaga keuangan bukan bank. Terutama di bidang asuransi dengan terjadinya kasus korupsi triliunan rupiah di perusahaan asuransi milik negara Jiwasraya.
Selain itu, maraknya kasus investasi bodong, juga dialamatkan kepada lemahnya pengawasan OJK. Seperti diketahui, kenapa dulu pengawasan perusahaan jasa keuangan diserahkan kepada OJK, agar lebih terintegrasi. Sebelumnya perbankan diawasi BI, sedangkan asuransi dan pasar modal diawasi Kementerian Keuangan.
Akhirnya spekulasi di atas pun terjawab sudah. Kompas (26/9/2020) memberitakan bahwa RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan tidak berhubungan dengan independensi BI atau perombakan OJK.Â
Tujuan utama reformasi regulasi tersebut adalah untuk pendalaman pasar keuangan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.
Pasar keuangan Indonesia masih tergolong dangkal dibandingkan negara-negara tetangga karena bertumpu pada perbankan saja. Jika dilihat di Malaysia sebagai contoh, sektor dana pensiun dan sektor keuangan syariah, sudah berkembang pesat.
Menurut Febrio, omnibus law sektor keuangan dipertimbangkan sebagai solusi dan terobosan untuk menyelesaikan hambatan regulasi yang tersebar di banyak UU terkait sektor jasa keuangan. Nantinya akan ada regulasi baru terkait dana pensiun.
Pengertian dana pensiun di sini bukan uang pensiun bulanan yang diterima oleh para pensiunan, baik pensiunan pegawai negeri, maupun perusahaan swasta.Â
Tapi, yang dimaksudkan adalah lembaga pengelolanya, yang termasuk sebagai lembaga keuangan bukan bank. Lembaga ini berupa badan hukum yang bertanggung jawab menyelenggarakan dan mengelola program pensiun.
Dana pensiun di negara kita terbagi atas dua jenis, yakni Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). DPPK dibentuk khusus untuk mengelola dana pensiun di suatu perusahaan atau instansi untuk karyawan di instansi atau perusahaan itu saja.Â
Di Indonesia DPPK yang tergolong besar adalah Taspen (untuk pegawai negeri), Dana Pensiun BI, Dana Pensiun Pertamina, Dana Pensiun BRI, dan sebagainya.
Sedangkan DPLK dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa yang menyelenggarakan program pensiun, baik untuk karyawan di bank atau asuransi itu sendiri, maupun karyawan perusahaan lain, termasuk untuk perorangan yang ingin mendapat uang pensiun di hari tuanya.
Dana pensiun memperoleh dana dari iuran yang disetor peserta program pensiun. Dana tersebut diinvestasikan pada berbagai instrumen keuangan yang relatif aman seperti deposito, obligasi, saham berkategori blue chip, agar bisa berkembang dan mampu membayarkan pesangon atau pensiunan bulanan untuk para pesertanya di saat mereka memasuki usia pensiun.
Jelaslah, bila akumulasi dana pensiun yang ada di negara kita jauh lebih besar dari kondisi sekarang, pasar modal kita tidak gampang dipermainkan investor asing.Â
Seperti sekarang ini, bila investor asing ramai-ramai keluar (maksudnya menjual saham-saham yang sebelumnya mereka beli di Bursa Efek Indonesia), maka harga saham pun anjlok drastis.Â
Seandainya setiap aksi jual investor asing diimbangi oleh aksi beli investor lokal yang dimotori oleh dana pensiun, indeks harga saham di BEI diharapkan bisa stabil, atau kalaupun turun, tidak terlalu merosot.
Saat ini dana pensiun di Indonesia berada di bawah pengawasan OJK. Kembali ke isu pembubaran OJK, tampaknya memang hanya sebatas isu. Peran OJK sudah tepat mengingat hubungan antar berbagai jenis perusahaan di bidang keuangan sangat erat, tak bisa dipisahkan. Contohnya, bank menjual produk asuransi, produk pasar modal, dan juga produk dana pensiun.
Bahwa pelaksanaan pengawasan oleh OJK belum optimal, harus diakui, dan untuk itu perlu diperbaiki mutu pengawasannya. Kalau pengawasan bank dikembalikan kepada BI, dan pengawasan lembaga keuangan bukan bank oleh Kementerian Keuangan, akan sulit mengkoordinasikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H