Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orangtua Membantu Anaknya Belajar, Seberapa yang Pas Takarannya?

23 September 2020   11:06 Diperbarui: 23 September 2020   11:19 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. radarbekasi.id

Orangtua selalu menginginkan anak-anaknya lebih berhasil dari dirinya. Keberhasilan itu memang ada banyak indikatornya, tapi pada umumnya ditandai oleh kesejahteraan yang meningkat. Kunci paling utama untuk kehidupan yang lebih sejahtera adalah melalui pendidikan.

Maka tak heran bila banyak orang tua yang meskipun dulu sekolahnya hanya sampai sekolah menengah, atau bahkan lebih rendah lagi, sangat berhasrat agar semua anak-anaknya bisa meraih gelar sarjana. Tentu sebelum jadi sarjana, harus melewati jenjang SD, SMP dan SMA atau SMK.

Memang tidak ada jaminan dengan gelar sarjana urusan mencari pekerjaan menjadi lebih gampang. Namun, paling tidak, ada peluang untuk berkerja di sektor formal dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Walaupun akibatnya, gejala urbanisasi meningkat pesat dan pekerjaan menjadi petani dan nelayan tidak lagi diminati karena dianggap tidak cocok untuk sarjana.

Berbicara soal pendidikan, secara umum berkaitan erat dengan kemajuan yang dialami negara kita. Sejak Indonesia merdeka hingga awal periode orde baru di akhir dekade 1960-an, mereka yang berhasil meraih titel sarjana, sangat sedikit.

Tidak banyak di era jadul itu orangtua yang hidup berkecukupan yang mampu menguliahkan anaknya. Bisa makan tiga kali sehari, membeli pakaian setiap lebaran, dan menutupi kebutuhan dasar lainnya, sudah dianggap bagus. Ironisnya, barangkali karena tidak ada hiburan seperti televisi, dan belum ada program keluarga berencana dari pemerintah, rata-rata sebuah keluarga punya anak yang banyak, di atas 5 orang.

Tapi seiring dengan kemajuan ekonomi Indonesia, pasangan yang menikah setelah 1970-an, mulai banyak yang menerapkan program keluarga berencana, dengan hanya memiliki anak tiga orang saja. Dengan anak yang lebih sedikit, perhatian orangtua pada masing-masing anak, termasuk keberhasilannya di sekolah, menjadi lebih baik.

Namun demikian, anak-anak yang lahir pada dekade 1970-an tersebut tidak dibantu oleh orangtuanya dalam mengerjakan PR yang diminta gurunya di sekolah. Bukan apa-apa, karena tingkat pendidikan orangtua yang relatif rendah, maka anak-anaknya lebih mengandalkan belajar di sekolah dan menyelesaikan sendiri PR-nya, atau belajar berkelompok dengan teman-temannya.

Jangan heran, generasi kelahiran 1970-an tersebut mencari sekolah sendiri, mendaftar untuk kuliah sendiri, dan orangtua hanya tinggal memberikan uang. Tahu-tahu anak-anaknya sudah jadi sarjana (tentu generasi ini menjadi sarjana di periode 1990-an). Lalu orangtua pun bangga, bercerita kepada temannya di kelompok pengajian atau di pasar, bahwa tiga orang anaknya sudah jadi sarjana semua.

Anak-anaknya pun (tentu setelah jadi sarjana, tidak pantas lagi disebut anak-anak), mencari pekerjaan sendiri, kebanyakan dengan merantau ke kota yang lebih besar. Melihat iklan di koran tentang lowongan pekerjaan, menyebar surat lamaran kerja, ikut seleksi, menjadi ritual mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi.

Bagi yang beruntung diterima di sebuah instansi atau perusahaan, mereka mulai berkarir, menyongsong masa depan yang cemerlang. Maka terjadilah transformasi sosial, sebuah peningkatan status, berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan, membentuk generasi baru yang lebih terdidik dan sejahtera.

Setelah itu, tentu mereka menikah dengan pujaan hatinya untuk membentuk keluarga yang bahagia (sekarang lebih sering disebut dalam bahasa Arab, keluarga yang sakinah mawaddah warahmah). Sama dengan orangtuanya, mereka juga ikut keluarga berencana dengan punya anak dua atau tiga orang saja.

Tapi karena mereka lebih makmur dari orang tuanya, di sinilah bedanya. Mereka jadi begitu protektif terhadap anaknya dan terlibat penuh dalam menentukan pendidikannya. Jangan heran, anak-anak yang lahir di era 2000-an, mulai tidak lagi mandiri. Untuk mendaftar ke SMA yang diinginkan, bahkan ke perguruan tinggi, diantar oleh orangtuanya.

Orangtua mengarahkan, ada juga yang memaksakan, agar anaknya mengambil jurusan IPA di SMA dan sibuk berburu fakultas favorit di perguruan tinggi papan atas. Orangtua pula yang bersemangat mengikutsertakan anaknya pada program bimbingan belajar yang telah terbukti meloloskan banyak alumninya menembus perguruan tinggi terkenal.

Fenomena kurang mandirinya anak-anak dan terlalu ikut campurnya orangtua, berlanjut hingga saat ini. Hal ini ada sisi baiknya, yakni pendidikan anak lebih terjamin. Namun demikian, harus berhati-hati dengan sisi negatifnya, anak-anak yang manja, lembek, berlimpah fasilitas, diyakini tidak punya mental yang kokoh dalam meniti karir nantinya.

Bahkan bisa terjadi siklus yang berbalik arah. Kalau dulu, orangtua kurang berpunya berhasil melahirkan generasi yang lebih sejahtera, setelah itu justru generasi yang lebih makmur itu  tidak berhasil melahirkan yang lebih berjaya lagi. 

Nah, dalam kaitannya dengan yang terjadi saat pandemi Covid-19 sekarang ini, di mana anak-anak mengikuti program belajar di rumah, orangtua harus lebih bijak dalam mendampinginya. Karena juga banyak orangtua yang bekerja di rumah, tentu orangtua bisa melihat kegiatan belajar anaknya.

Rengekan si anak minta bantuan orangtua mencarikan jawaban PR-nya, membuat orangtua tergoda. Di samping tidak tega melihat anaknya kesulitan, orangtua juga sangat bernafsu agar anaknya mendapat nilai bagus di sekolah.

Di sinilah orangtua harus tahu, seberapa takaran yang pas dalam keterlibatan membantu anak. Terlalu cuek, mungkin mengakibatkan si anak mengandalkan mbah google untuk mencari jawaban atas PR-nya. Padahal, meskipun menyediakan banyak jawaban, google belum tentu betul, dan juga kurang mendidik. Anak hanya mencari jawaban instan tanpa terlibat dalam proses kreatif menemukan jawaban.

Jadi, orangtua sebaiknya menerapkan metode tarik ulur, lebih fleksibel, dengan memberi ruang bagi si anak untuk berpikir sendiri. Orangtua hanya memberikan clue atau mendampingi dalam waktu tetentu saja. Saatnya anak-anak bisa meng-up grade dirinya, tanpa disuapi orangtua.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun