Menteri Agama Fachrul Razi saat ini lagi menjalani isolasi dan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta, karena terkonfirmasi positif Covid-19. Mudah-mudahan tidak ada komentar warga yang iseng, misalnya menyebutkan hal itu pertanda "kualat" gara-gara adanya kebijakan kementerian yang dipimpinnya untuk melakukan sertifikasi penceramah agama.
Sekitar dua minggu lalu, media massa menghebohkan topik sertifikasi ulama tersebut. Dari tayangan berita salah satu stasiun televisi, Rabu (9/9/2020), terlihat Fachrul Razi sangat percaya diri memaparkan konsep sertifikasi itu dalam forum rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, sehari sebelum berita itu ditayangkan.
Kementerian Agama berencana melakukan sertifikasi terhadap ulama yang sering berkhutbah atau berceramah di masjid-masjid, dan untuk tahap pertama, terbatas bagi penceramah agama Islam. Penceramah agama lain akan menyusul sebulan kemudian. Artinya, program ini tidak eksklusif hanya buat agama Islam.
Adapun programnya bersifat sukarela, Â penceramah yang tidak bersertifikat tidak akan dilarang berceramah. Tapi tentu bisa ditafsirkan bahwa pemerintah mengimbau agar masyarakat atau pengurus masjid lebih memprioritaskan mengundang pencermah yang telah bersertifikat.
Fachrul Razi juga mengatakan bahwa program tersebut bukan dilakukan sendiri oleh Kementerian Agama, namun berkolaborasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan didukung oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan akademisi atau pakar (sindonews.com, 8/9/2020).
Dengan melihat pihak mana saja yang diajak berkolaborasi, gampang ditebak ke mana arahnya. Pada dasarnya materi sertifikasi bisa dibagi dalam dua bidang besar, keagamaan dan kebangsaan. Untuk materi keagamaan, seyogyanya bagi penceramah yang telah mempunyai jam terbang yang relatif tinggi, tentu tidak perlu diragukan lagi, sudah dikuasainya.
Yang mungkin masih diragukan, terutama dilihat dari sisi pemerintah, adalah pemahaman para penceramah terhadap materi bidang kebangsaan. Kasarnya, sebagian penceramah bisa jadi masih dipertanyakan rasa nasionalisme atau patriotismenya.
Kalau dugaan tersebut betul, maka perdebatannya adalah, bila penceramah menyisipkan dalam ceramahnya, materi yang bersifat kritik terhadap kebijakan  pemerintah atau terhadap pelaksanaan dari suatu kebijakan, apakah itu cermin dari rasa kebangsaan yang rendah? Bukankah bisa juga diartikan, justru karena rasa kebangsaannya tinggi, makanya memberikan masukan buat pemerintah.
Semoga saja pemerintah tidak memonopoli penafsiran tentang kebangsaan, seolah-olah mereka yang melontarkan kritik misalnya terhadap Presiden Jokowi, langsung dicap tidak punya rasa kebangsaan. Tapi terlepas dari itu, secara esensi, muatan keagamaan dan kebangsaan dalam satu nafas, memang diperlukan.
Soalnya, keagamaan dan kebangsaan bukan hal yang berlawanan, justru seiring sejalan, saling melengkapi. Kalau boleh meminjam kalimat dari Romo Soegija (1896-1963), yang terkenal dengan ucapannya "seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia", maka layak pula para ulama mengatakan "seratus persen Islam, seratus persen Indonesia.
Penjabarannya seperti ini, umat Islam diharapkan betul-betul menjalankan semua perintah agama dan menjauhi semua larangan-Nya (seratus persen Islam). Dan sekaligus juga mematuhi semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara kita tercinta ini (seratus persen Indonesia).
Harapan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kalau melihat kembali sejarah kemerdekaan RI, peranan ulama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, secara implisit telah menggambarkan keislaman dan keindonesiaan yang berpilin berkelindan, alias sudah padu.
Maka kalau tokoh agama ada yang skeptis dengan rencana sertifikasi tersebut, mungkin karena menilai sertifikasi hanya memperpanjang birokrasi saja, dan bisa-bisa menjadi "mainan baru" yang diproyekkan. Padahal, kalau soal kebangsaan, dari dahulu para ulama sudah mempraktikkannya.
Jadi, tinggal kita lihat, apakah prosedur pemberian sertifikasi dimaksud akan mempersulit para penceramah menyampaikan misi dakwahnya, atau bisa dilakukan secara cepat, sederhana, dan tidak membebani para ulama.
Kemudian terkait dengan pengertian radikalisme, yang sepertinya akan menjadi "bola panas", pemerintah perlu secara transparan membeberkan indikator yang dipakai untuk menduga seorang penceramah terpapar paham radikal. Di sinilah urgensinya pemerintah meminta pendapat akademisi atau pakar yang independen.
Perlu pula dicermati, penceramah sekarang tidak hanya melakukan kegiatan di masjid, tapi lebih banyak memanfaatkan media sosial seperti streaming video. Jika ini pun akan diawasi dan diberikan sertifikasi, tentu membutuhkan upaya ekstra karena terlalu luas cakupannya.
Terakhir tentang  istilah sertifikasi itu sendiri, ada baiknya ditinjau ulang, dan diganti dengan istilah lain yang lebih tepat, umpamanya "pembekalan". Soalnya sertifikasi berkaitan dengan profesi tertentu, sementara ulama bukanlah profesi, tapi panggilan jiwa untuk mengajak umat Islam taat kepada Allah.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H