Harapan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kalau melihat kembali sejarah kemerdekaan RI, peranan ulama dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, secara implisit telah menggambarkan keislaman dan keindonesiaan yang berpilin berkelindan, alias sudah padu.
Maka kalau tokoh agama ada yang skeptis dengan rencana sertifikasi tersebut, mungkin karena menilai sertifikasi hanya memperpanjang birokrasi saja, dan bisa-bisa menjadi "mainan baru" yang diproyekkan. Padahal, kalau soal kebangsaan, dari dahulu para ulama sudah mempraktikkannya.
Jadi, tinggal kita lihat, apakah prosedur pemberian sertifikasi dimaksud akan mempersulit para penceramah menyampaikan misi dakwahnya, atau bisa dilakukan secara cepat, sederhana, dan tidak membebani para ulama.
Kemudian terkait dengan pengertian radikalisme, yang sepertinya akan menjadi "bola panas", pemerintah perlu secara transparan membeberkan indikator yang dipakai untuk menduga seorang penceramah terpapar paham radikal. Di sinilah urgensinya pemerintah meminta pendapat akademisi atau pakar yang independen.
Perlu pula dicermati, penceramah sekarang tidak hanya melakukan kegiatan di masjid, tapi lebih banyak memanfaatkan media sosial seperti streaming video. Jika ini pun akan diawasi dan diberikan sertifikasi, tentu membutuhkan upaya ekstra karena terlalu luas cakupannya.
Terakhir tentang  istilah sertifikasi itu sendiri, ada baiknya ditinjau ulang, dan diganti dengan istilah lain yang lebih tepat, umpamanya "pembekalan". Soalnya sertifikasi berkaitan dengan profesi tertentu, sementara ulama bukanlah profesi, tapi panggilan jiwa untuk mengajak umat Islam taat kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H