Kembali pada soal penangkapan Djoko Tjandra, pendapat publik sepertinya terpecah dua. Ada yang memberikan apresiasi dan mengatakan bahwa aparat kepolisian kita sudah bertindak cepat. Tapi sebaliknya ada yang menganggap bahwa Sang Joker lah luar biasa, buktinya selama 11 tahun tak terlacak oleh aparat kepolisian.
Makanya, bagi penggemar teori konspirasi, imajinasinya bisa berkembang ke mana-mana, karena merasa aneh, kok dulu begitu susahnya mencari Si Joker, sekarang malah terkesan gampang.Â
Tentang hal ini sebaiknya kita percaya saja pada keterangan resmi yang beredar di media massa, bahwa ini murni hasil kerjasama kepolisian RI dan PDRM (Polis Di Raja Malaysia, Polri-nya Malaysia).
Tapi agar penggemar teori konspirasi tidak kecewa, karena kasus Djoko ada singgungannya dengan bisnis perbankan, berikut ini dipaparkan sedikit tentang kondisi perbankan saat ini, yang mulai sempoyongan dihantam pandemi Covid-19. Indikator dari sempoyongan tersebut adalah berupa melonjak tajamnya jumlah kredit macet (non performing loan, biasa disingkat NPL) pada perbankan nasional.
Bisa dimengerti kenapa NPL naik. Bukankah sejak diberlakukannya pembatasan sosial, kondisi perekonomian kita lagi lesu? Meskipun sebagian perusahaan terbantu dari transaksi secara online, tapi secara umum banyak perusahaan yang mengalami penurunan omzet penjualan.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut terpaksa melakukan PHK terhadap para karyawannya, dan tentu juga menunda cicilan angsurannya ke bank tempat perusahaan tersebut berutang.
Nah, di bank ada istilah yang lazim berkaitan dengan kredit macet, yakni hapus buku dan hapus tagih. Terhadap peminjam yang betul-betul dinilai tidak lagi mampu mengembalikan kreditnya, bank secara teknis akuntansi biasanya akan melakukan hapus buku. Maksudnya dihapuskan dari pembukuan bank yang tergambar pada neraca (ikhtisar aset, utang, dan modal) bank tersebut.
Namun jangan mengira bank melupakan si pengemplang utang tersebut. Dihapus dari neraca, tidak berarti catatannya hilang sama sekali, tapi ada yang namanya catatan di luar neraca (off balance sheet).Â
Ingat, hapus buku tidak berarti hapus tagih. Ini dipandang pihak bank sebagai "harta karun", dalam arti tetap diusahakan penagihannya dengan berbagai upaya. Jika hanya berhasil ditagih sebagian, itupun sudah ibarat menemukan harta karun.
Personil atau tim yang berhasil menemukan harta karun itu, dinilai oleh manajemen bank sebagai karyawan yang hebat. Biasanya diberikan insentif tertentu atau kenaikan pangkat sebagai bentuk apresiasi. Jangan heran bila di bank berlaku filosofi "tenggelamkan dulu, nanti menyembul sedikit saja sudah dianggap hebat".Â
Apakah ada oknum bank yang melakukan permainan dengan nasabah, sehingga soal "tenggelam" dan "menyembul" itu bisa diskenariokan? Boleh jadi. Apakah permainan itu bersifat kolektif yang melibatkan para pejabat tinggi sehingga mengarah kepada sebuah konspirasi? Sulit membuktikannya.