Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), mau tak mau harus disukseskan. Ketika lima bulan lalu, waktu itu awal pandemi Covid-19 yang tak terbendung lagi masuk ke negara kita, ada harapan bahwa bencana itu tidak akan berlangsung begitu lama.Â
Maka pembatasan sosial pun menjadi hal yang harus diterima masyarakat. Untuk dunia pendidikan, metode PJJ terpaksa dilakukan agar kegiatan pendidikan tidak terhenti. Masalahnya, PJJ yang tadinya dianggap hanya untuk sementara saja, tetap berlanjut pada tahun ajaran baru ini.Â
Hingga kini belum terlihat tanda-tanda pandemi Covid-19 akan berakhir. Bahkan dari data resmi yang dikeluarkan Satgas Covid-19, setiap harinya masih banyak terjadi penambahan warga yang terpapar virus yang menghantui seluruh dunia ini.Â
Artinya, bagi para murid, pelajar dan mahasiswa, juga guru dan dosen, PJJ akan selalu menjadi "mainan" sehari-hari. Bagi anak usia SD, hal ini juga melibatkan orang tua murid yang terpakasa bertindak sebagai guru dadakan.
Maka sudah sepantasnyalah berbagai kendala yang berkaitan dengan pelaksanaan PJJ, harus segera diatasi oleh berbagai pihak terkait. Tentu pemerintah menjadi pihak yang amat diharapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Namun demikian, insiatif pihak di luar pemerintah tak kalah pentingnya, karena bila semuanya mengandalkan pemerintah, tak akan tertuntaskan.
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan kita yang telah berlangsung sejak dulu, adalah berkaitan dengan ketimpangan kualitas pendidikan antar kota dan desa, antar Indonesia bagian barat dan bagian timur, antar masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dan menengah ke bawah, dan dari berbagai aspek lainnya.
Dengan PJJ, ketimpangan itu bukannya mengecil, malah makin melebar, karena berkaitan dengan keterbatasan mengakses internet di berbagai penjuru. Selain itu juga keterbatasan penghasilan orang tua murid dalam membelikan paket internet bagi anak-anaknya, bahkan masih banyak yang belum punya gawai.
Trenyuh juga menyaksikan berita di televisi bagaimana perjuangan anak-anak sekolah mencari tempat yang ada sinyal untuk mengakses internet. Di suatu desa, ada area di pinggir jalan yang terdapat sinyal dimaksud. Akhirnya ke sanalah tiga anak bersaudara membawa gawainya, duduk lesehan beralaskan lipatan kardus. Lalu pada jam makan siang, ibunya datang mengantarkan makanan ke tempat itu.
Atau seperti yang ditulis oleh okezone.com (23/7/2020), empat orang pelajar SMP dan SMA di Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Labuhan Ratu, Bandar Lampung, terpaksa mencari sinyal internet di kebun pisang. Kebetulan kebun itu di belakang kos-kosan yang mempunyai fasilitas wifi.
Ya, begitulah kendala yang dihadapi sebagian pelajar. Harus punya gawai dan juga mampu membeli paket internet. Punya paket internet pun, sinyal tidak selalu bisa diterima dengan baik di tempat-tempat tertentu yang terpelosok.Â
Ada lagi dampak negatif yang tidak diharapkan, seperti yang terjadi di Batam. Â Di sana ada siswi SMP yang mengaku menjual diri untuk membeli paket internet (tribunnews.com, 28/7/2020). Dari siaran berita salah satu stasiun televisi ada pula siswa yang tertangkap karena melakukan pencurian, juga untuk membeli paket internet.Â