Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Janda dan Duda, yang Menikah Lagi dan yang Tetap Sendiri

23 Agustus 2020   09:31 Diperbarui: 9 Juni 2021   08:34 4027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi janda dan duda. | dok. radarbanten

Mungkin karena teman-teman saya ataupun senior-senior saya banyak yang berpredikat janda dan segelintir yang bepredikat duda, saya sedikit banyak mendapat cerita tentang kehidupan mereka. Banyak hal yang menurut saya menarik, makanya saya coba untuk menuliskannya di sini.

Dari judul tulisan di atas, tentu sudah langsung tertebak, apa yang hendak saya uraikan. Namun saya tidak bermaksud menulis semua cerita yang pernah saya dengar tentang para janda dan duda. Saya hanya memilih kisah yang "lurus-lurus" saja, dalam arti bagi mereka yang memilih mencari pasangan hidup lagi, yang saya angkat adalah yang menikah, baik yang tercatat dalam akta nikah yang diakui negara, maupun yang menikah secara siri. 

Mungkin ada yang mau protes, kok nikah siri saya anggap "lurus". Ini semata-mata karena saya menafsirkan nikah siri sendiri sebagai nikah yang sah menurut hukum Islam. Yang saya anggap tidak lurus dan tidak masuk ruang lingkup tulisan ini adalah kisah berbau perselingkuhan, termasuk intrik-intrik yang menyertainya seperti dalam kisah sinetron tentang pelakor atau pebinor. 

Saya pun tidak akan menyoroti pasangan yang senang gonta-ganti istri atau suami. Soalnya, yang suka gonta-ganti ini tidak hanya selebriti. Beberapa teman saya yang orang biasa-biasa saja, juga ada yang melakukan. Misalnya lelaki A berselingkuh dengan wanita B. A dan B punya pasangan sah, namun akhirnya memilih bercerai dengan pasangan sahnya itu, agar bisa menikah dengan selingkuhannya.

Nah inilah hasil pengamatan saya, meskipun hanya berupa pengamatan sekilas, dan juga bersumber dari cerita yang saya dengar dari teman-teman yang saya percayai. Namun demikian, tentu saja akurasinya tidak bisa dijamin karena cenderung subjektif.

Baca juga: Melacak Jejak Janda dalam Sejarah Indonesia

Seorang janda yang bekerja dan punya penghasilan, cenderung sangat hati-hati bila mau menikah lagi. Bahkan banyak di antaranya yang betul-betul tak mau menikah, meskipun ada lelaki mapan yang ingin mempersuntingnya. 

Jadi, kemandirian dalam hal finansial, tampaknya ikut menjadi faktor yang memperlemah keinginan seorang janda buat menikah lagi. Mereka mandiri karena punya pekerjaan tetap. Bisa sebagai karyawati, pegawai negeri, pensiunan yang menerima uang pensiun bulanan, atau punya bisnis sendiri. Punya bisnis itu bisa saja dimulai setelah berstatus janda dan berhasil paling tidak untuk menutupi biaya kebutuhan hidupnya.

Alasan yang sering saya dengar kenapa mereka enggan menikah lagi, karena menikah itu dinilai merepotkan. Apalagi bila  ia sudah punya beberapa orang anak dan lelaki yang ingin menikahinya juga duda yang punya beberapa orang anak. Menikah lagi dianggap akan merenggut kebebasan dan lalu merasa malas harus banyak berbasa-basi kepada suami baru ataupun keluarga besar suami baru.

Namun demikian, kemandirian secara finansial tidak menjadi penghalang bila lelaki duda yang datang melamar, betul-betul sudah dikenalnya secara baik. Contohnya, ada seorang guru SMA yang suaminya sudah meninggal dunia, menerima pinangan mantan kepala sekolah di tempat ia pernah mengajar, yang juga seorang duda kematian istri.

Tentu saja si guru sudah yakin akan kebaikan hati dan tingkah laku si duda yang kepala sekolah. Kalau tidak, rasanya tidak mungkin ia menerima, karena secara finansial, penghasilannya sebagai guru berstatus pegawai negeri, relatif cukup. Apalagi ditambah dengan tunjangan sertifikasi yang lumayan.

Nah, sekarang tentang janda yang tidak mempunya pekerjaan alias ibu rumah tangga, dan juga tidak banyak mendapat warisan dari almarhum suaminya. Bagi yang selama ini dimanjakan suami, suka dandan, dan pintar dalam merawat diri yang ditandai dengan bodi yang masih proporsional, cenderung ingin menikah lagi dengan lelaki yang punya penghasilan lumayan.

Status janda bagi seorang yang masih mempunyai penampilan menarik, mungkin terasa kurang nyaman. Kalaupun pada awalnya tidak ada niat menikah, namun karena banyak lelaki yang tertarik, membuat si janda mau tak mau ingin dapat pendamping agar tidak ada lagi lelaki yang mengganggu. Tentu saja pendamping yang dicari adalah seorang duda atau bujangan.

Tapi ada pula contoh lain, sebut saja Z, janda yang ditinggal mati suaminya saat ia berusia 50 tahun. Mungkin karena terdesak kebutuhan ekonomi atau karena pertimbangan lain, ia mau menjadi istri kedua dari seorang pejabat yang tinggal di kota lain, bahkan berbeda pulau. Ia menikah secara siri.

Bukan saya menghakimi, Z ini memang tidak terlalu baik moralnya. Ada dugaan Z hanya mengincar uang suami barunya dan sesekali saja datang ke kota tempat suaminya bertugas. Si suami pun sesekali pula datang ke kota tempat tinggal Z. Gosipnya Z sendiri punya pacar lain yang jauh lebih muda.

Baca juga: Salah Kaprah Duda/Janda Lebih Berpengalaman

Menikah siri tidak bisa dianggap hanya dipilih oleh mereka yang moralnya diragukan. Ada seorang janda yang menerima pensiun bulanan karena almarhum suaminya seorang pejabat level menengah di sebuah pemprov di Sumatera, memilih nikah siri dengan seorang duda yang pensiunan sebuah BUMN papan atas. Hingga kini mereka telah menikah 7 tahun dan terlihat sangat rukun.

Kenapa harus nikah siri, padahal tidak ada halangan buat menikah resmi? Tujuannya agar uang pensiun bulanan atas nama almarhum suaminya masih tetap mengalir. Ketentuannya, pensiunan janda akan diputus, bila si janda menikah lagi sesuai dokumen yang tercatat pada instansi terkait.

Janda yang menikah karena faktor ekonomi, jika kurang teliti bisa tertipu. Seperti kisah Y, setahun setelah kematian suaminya, menikah siri dengan seorang lelaki yang mengaku duda dan berprofesi sebagai pengusaha. Tahu apa yang terjadi setelah itu? Pernikahan kedua Y hanya bertahan 8 bulan saja.

Apa pasal perceraiannya? Ternyata niat ekonomi terlalu merasuki keduanya, dan akhirnya sama-sama tertipu. Si lelaki yang mengaku duda ini ternyata mengincar harta peninggalan almarhum suami Y. Memang tanah almarhum suaminya lumayan luas, namun terpaksa dijual Y untuk melunasi utang almarhum. 

Sementara si duda yang katanya pengusaha sukses itu, ternyata bekerja secara serabutan saja. Tentu Y kewalahan memenuhi permintaan suaminya yang ingin dibekali uang setiap mau pergi ke suatu tempat.

Pengamatan saya berikutnya, seorang janda yang usianya sudah di atas 60 tahun, meskipun tidak punya penghasilan sendiri, cenderung tidak punya keinginan  menikah lagi. Tentu saja bila anak-anaknya juga hidup pas-pasan, akan menyulitkan si janda untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Inilah yang dimaksudkan oleh "dai sejuta umat" alm. KH Zainuddin MZ, agar masyarakat menyantuni janda-janda miskin.

Sekarang soal duda. Tak banyak yang ingin saya ulas, karena hasil pengamatan saya sekilas terhadap teman-teman atau senior saya sendiri, semua yang duda, dalam hitungan 1 atau 2 tahun setelah ditinggal istrinya, menikah lagi. Bahkan ada yang baru dalam hitungan bulan, ibarat kata tanah makam istrinya masih basah.

Saya teringat dengan guyonan yang lazim diutarakan teman-teman saya sesama urang awak. Terhadap seorang lelaki yang kemalangan karena kematian istri, diberikan kata-kata hiburan "ndak ado malang nan samujua iko". Terjemahannya adalah "tak ada kemalangan yang semujur ini". Tentu saja mujur dalam arti si suami punya kesempatan untuk menikah lagi.

Memang, duda yang rata-rata cepat menikah lagi seperti teman-teman saya tersebut, dilakukannya ketika masih berumur di bawah 60 tahun. Dan duda dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun akan malu-malu bila mau menikah lagi, padahal masih mau. Kenapa malu-malu? Karena takut dilarang oleh anak-anaknya. 

Baca juga: Tahun Baru Hijriah, Pengantin Muda Baru, dan Akhirnya Jadi Duda Janda Muda

Dan lazimnya memang banyak anak yang tidak setuju bapaknya yang sudah berusia di atas 60 tahun menikah lagi. Anaknya merasa repot jika punya ibu baru, di samping mungkin ada ketakutan bila harta ayahnya banyak yang lari ke ibu barunya.

Padahal, jika si anak memahami sisi psikologis orang tua, bila seorang duda lansia ingin menikah lagi dengan wanita yang usianya tidak berbeda jauh, motifnya lebih kepada mencari pendamping  teman ngobrol, bukan karena kebutuhan biologis. Kecuali bila si duda tua menikahi wanita yang seusia anaknya, pantas dicurigai, mungkin faktor biologis yang jadi motif utama.

Padahal, si duda tua harus waspada, sangat mungkin ia sudah tergolong "nafsu besar tenaga kurang". Tak jarang ada berita si duda lansia yang meninggal selagi menunaikan hasrat biologisnya dengan si istri yang masih muda.

Poin terakhir berdasarkan pengamatan sekilas saya, dari pengalaman kerabat dan senior saya, lelaki yang baru menduda setelah berusia 70 tahun, tidak ada yang menikah lagi. Tapi dari berita di media massa, hal ini masih ada, meskipun langka.

Begitu saja, sebagai tulisan ringan di Minggu pagi. Pesan moral saya, jangan kita beranggapan soal asmara semata-mata urusan anak muda. Pada dasarnya cinta terhadap lawan jenis itu bersifat universal dan berlaku sejak remaja hingga lansia.

Kalau seorang lelaki menikahi seorang wanita, terlepas dari pernikahan pertama atau pernikahan yang ke sekian, seharusnya berlandaskan cinta yang tulus. Bukan karena mendahulukan faktor ekonomi, bukan pula demi menyalurkan hasrat biologis semata. Dan dalam konteks agama, pernikahan harus dipandang sebagai bagian dari ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun