Sekarang soal duda. Tak banyak yang ingin saya ulas, karena hasil pengamatan saya sekilas terhadap teman-teman atau senior saya sendiri, semua yang duda, dalam hitungan 1 atau 2 tahun setelah ditinggal istrinya, menikah lagi. Bahkan ada yang baru dalam hitungan bulan, ibarat kata tanah makam istrinya masih basah.
Saya teringat dengan guyonan yang lazim diutarakan teman-teman saya sesama urang awak. Terhadap seorang lelaki yang kemalangan karena kematian istri, diberikan kata-kata hiburan "ndak ado malang nan samujua iko". Terjemahannya adalah "tak ada kemalangan yang semujur ini". Tentu saja mujur dalam arti si suami punya kesempatan untuk menikah lagi.
Memang, duda yang rata-rata cepat menikah lagi seperti teman-teman saya tersebut, dilakukannya ketika masih berumur di bawah 60 tahun. Dan duda dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun akan malu-malu bila mau menikah lagi, padahal masih mau. Kenapa malu-malu? Karena takut dilarang oleh anak-anaknya.Â
Baca juga: Tahun Baru Hijriah, Pengantin Muda Baru, dan Akhirnya Jadi Duda Janda Muda
Dan lazimnya memang banyak anak yang tidak setuju bapaknya yang sudah berusia di atas 60 tahun menikah lagi. Anaknya merasa repot jika punya ibu baru, di samping mungkin ada ketakutan bila harta ayahnya banyak yang lari ke ibu barunya.
Padahal, jika si anak memahami sisi psikologis orang tua, bila seorang duda lansia ingin menikah lagi dengan wanita yang usianya tidak berbeda jauh, motifnya lebih kepada mencari pendamping  teman ngobrol, bukan karena kebutuhan biologis. Kecuali bila si duda tua menikahi wanita yang seusia anaknya, pantas dicurigai, mungkin faktor biologis yang jadi motif utama.
Padahal, si duda tua harus waspada, sangat mungkin ia sudah tergolong "nafsu besar tenaga kurang". Tak jarang ada berita si duda lansia yang meninggal selagi menunaikan hasrat biologisnya dengan si istri yang masih muda.
Poin terakhir berdasarkan pengamatan sekilas saya, dari pengalaman kerabat dan senior saya, lelaki yang baru menduda setelah berusia 70 tahun, tidak ada yang menikah lagi. Tapi dari berita di media massa, hal ini masih ada, meskipun langka.
Begitu saja, sebagai tulisan ringan di Minggu pagi. Pesan moral saya, jangan kita beranggapan soal asmara semata-mata urusan anak muda. Pada dasarnya cinta terhadap lawan jenis itu bersifat universal dan berlaku sejak remaja hingga lansia.
Kalau seorang lelaki menikahi seorang wanita, terlepas dari pernikahan pertama atau pernikahan yang ke sekian, seharusnya berlandaskan cinta yang tulus. Bukan karena mendahulukan faktor ekonomi, bukan pula demi menyalurkan hasrat biologis semata. Dan dalam konteks agama, pernikahan harus dipandang sebagai bagian dari ibadah.