Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Matematika Politik, Calon Tunggal, Kemubaziran Pesta Demokrasi, dan Kualitas Pemimpin

30 Juli 2020   00:07 Diperbarui: 31 Juli 2020   10:02 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by JESHOOTS.COM on Unsplash

Pandemi Covid-19 ternyata tidak menjadi penghalang terlaksananya pilkada serentak yang dijadwalkan akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun tengah ngebut mempersiapkan segala sesuatunya, tentu dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Tapi kondisi sekarang bukan sama sekali tidak berpengaruh secara politik. Mereka yang berniat bertarung dalam pilkada atau juga parpol pengusungnya, terlihat semakin cermat dalam melakukan kalkulasi, yang dalam tulisan ini disebut dengan matematika politik. 

Maksudnya, jika matematika politik mereka menghasilkan kemungkinan sulit untuk meraih kemenangan, maka lebih baik tidak ikut bertarung. Bagi parpol, hal ini berarti lebih baik ikut mendompleng mengusung calon yang sudah diusung oleh partai yang sudah mengumumkan calonnya. Paling tidak, nanti tentu ada sedikit balas jasa yang akan diterima parpol yang ikut berkoalisi itu.

Itulah yang mungkin akan terjadi pada pemilihan wali kota di Solo, Jawa Tengah, di mana putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sudah dipastikan akan diusung oleh PDI Perjuangan. Kota Solo memang salah satu basis partai berlambang banteng itu.

Sejauh ini pernyataan parpol selain PDI Perjuangan belum terdengar akan mengusung calon yang diperkirakan mampu mengimbangi popularitas Gibran. Malah parpol lain seperti kompak menyatakan akan ikut mengusung Gibran. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyatakan dengan tegas tidak akan mendukung Gibran.

Tentu wajar bila PKS tidak ikut-ikutan, mengingat pada level nasional pun, partai ini menjadi satu-satunya partai yang dengan tegas menyatakan sebagai partai oposisi. PKS masih berusaha mencari lawan bagi Gibran, namun bila tidak menemukan, PKS akan berpihak ke kotak kosong.

Nah, di situlah berbahayanya, bila nantinya Gibran akan tampil sebagai calon tunggal atau hanya bertarung melawan kotak kosong, dapat dibaca bahwa pelaksanaan pilkada hanya sebagai kemubaziran pesta demokrasi.

Dari sisi kubu Gibran sendiri, boleh jadi kondisi begini menjadi hal yang menggembirakan. Hanya keajaibanlah yang mampu memupuskan hasrat politik Gibran, pengusaha muda yang ingin banting setir ke dunia politik, mengikuti jejak sang bapak.

Tapi menyalahkan parpol lain yang tidak berani menampilkan calon lain juga kurang tepat. Mereka tentu telah berhitung dengan matang, mengenai elektabilitas kader yang mereka punyai atau menggaet calon lain yang punya potensi. Elektabilitas yang rendah artinya membutuhkan biaya yang besar buat mendongkraknya.

Maka dari hitung-hitungan itulah yang membuat parpol enggan berspekulasi. Bayangkan bila uang sudah banyak ludes, namun akhirnya tetap kalah. Bisa juga dana kampanye lebih banyak dari kantong si calon, sedangkan parpol hanya untuk legitimasi pencalonan saja, karena kalau maju melalui jalur independen akan ribet sekali mengumpulkan KTP warga.

Namun tampaknya dengan terjadinya pandemi, calon dari luar parpol yang mau merapat ke parpol pun juga melakukan perhitungan matematika politik sendiri. Bila mereka seorang pengusaha, tentu saat ini lebih baik mereka fokus kepada upaya pemulihan usahanya, daripada "berjudi" menjadi calon bupati, wali kota, atau gubernur.

Akhirnya, bila calon tunggal yang tampil, iklim persaingan politiknya kurang kondusif untuk munculnya pemimpin yang berkualitas, Masyarakat seolah di-fait accompli untuk memilih si calon tunggal. Perdebatan tentang program pembangunan yang ditawarkan bagi masyarakat pun berkemungkinan tidak berhasil menggali ide-ide baru yang bersifat terobosan.

Sebetulnya, tujuan pelaksanan pilkada secara demokratis di mana masyarakat secara langsung memilih pemimpinnya, jelas agar mampu mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Tujuan yang baik itu adakalanya berbenturan dengan matematika politik para politisi.

Bagaimanapun, bola ada di tangan rakyat, sang pemilik kedaulatan. Rakyat harus cermat menimbang-nimbang calon yang akan dipilihnya. Jika hanya satu calon, dan calon itu belum memenuhi harapan rakyat, jangan ragu untuk memilih kotak kosong.

Kemenangan kotak kosong pernah terjadi pada pemilihan wali kota di Makassar, Sulawesi Selatan, dua tahun lalu. Siapa tahu, pada pilkada serentak Desember 2020 mendatang, sejarah Makassar akan terulang di daerah lain?

Jika kotak kosong yang menang, apa boleh buat, memang akan terjadi seperti yang telah disinggung di atas, yakni kemubaziran pesta demokrasi. Soalnya, pilkada harus digelar lagi, dengan memakan anggaran yang tidak sedikit. 

Untuk sementara, jabatan yang diperebutkan akan diduduki oleh seorang plt (pelaksana tugas) yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri. Tentu saja suatu daerah yang dipimpin oleh seorang plt, akan mengalami kesulitan dalam menyusun program pembangunan dan mengkoordinir pelaksanaannya..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun