Akhirnya, bila calon tunggal yang tampil, iklim persaingan politiknya kurang kondusif untuk munculnya pemimpin yang berkualitas, Masyarakat seolah di-fait accompli untuk memilih si calon tunggal. Perdebatan tentang program pembangunan yang ditawarkan bagi masyarakat pun berkemungkinan tidak berhasil menggali ide-ide baru yang bersifat terobosan.
Sebetulnya, tujuan pelaksanan pilkada secara demokratis di mana masyarakat secara langsung memilih pemimpinnya, jelas agar mampu mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Tujuan yang baik itu adakalanya berbenturan dengan matematika politik para politisi.
Bagaimanapun, bola ada di tangan rakyat, sang pemilik kedaulatan. Rakyat harus cermat menimbang-nimbang calon yang akan dipilihnya. Jika hanya satu calon, dan calon itu belum memenuhi harapan rakyat, jangan ragu untuk memilih kotak kosong.
Kemenangan kotak kosong pernah terjadi pada pemilihan wali kota di Makassar, Sulawesi Selatan, dua tahun lalu. Siapa tahu, pada pilkada serentak Desember 2020 mendatang, sejarah Makassar akan terulang di daerah lain?
Jika kotak kosong yang menang, apa boleh buat, memang akan terjadi seperti yang telah disinggung di atas, yakni kemubaziran pesta demokrasi. Soalnya, pilkada harus digelar lagi, dengan memakan anggaran yang tidak sedikit.Â
Untuk sementara, jabatan yang diperebutkan akan diduduki oleh seorang plt (pelaksana tugas) yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri. Tentu saja suatu daerah yang dipimpin oleh seorang plt, akan mengalami kesulitan dalam menyusun program pembangunan dan mengkoordinir pelaksanaannya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H