Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menunggu Lahirnya Bank Syariah Raksasa Atas Inisiatif Kementerian BUMN

28 Juli 2020   08:00 Diperbarui: 28 Juli 2020   08:51 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raksasa pada judul di atas bukan nama bank, melainkan ukuran dari suatu bank jika dilihat dari jumlah asetnya. Harus diakui, meskipun sejarah bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak 1991, sudah hampir 30 tahun lalu, namun perkembangannya belum seperti yang diharapkan.

Hingga kini, belum satu pun dari 14 bank umum syariah yang beroperasi di tanah air, yang layak disebut sebagai bank raksasa, meskipun ukuran raksasa itu sendiri bersifat relatif. 

Yang jelas, jika melihat bank konvensional, ada dua bank yang asetnya sudah melewati angka psikologis Rp 1.000 triliun, yang secara tak langsung dianggap sebagai batas minimal bank raksasa, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri. Di samping itu, ada dua bank lagi yang asetnya mendekati angka psikologis tersebut, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Negara Indonesia (BNI).

Sedangkan di jajaran bank syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM) tercatat sebagai bank syariah dengan aset terbesar, yakni sebesar Rp 114 triliun pada posisi akhir Maret 2020 lalu.

Memang ironis, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, tapi industri perbankan syariahnya masih tertinggal dari beberapa negara lain, bahkan dengan negara jiran Malaysia.

Saat ini share perbankan syariah dibanding total perbankan nasional, dari sisi aset, masih berkutat di angka 5 persen, sangat jauh dari potensi yang seharusnya bisa digali. Celakanya, pionir bank syariah, Bank Muamalat, malah didera sejumlah masalah, meskipun sudah beberapa kali mendapat suntikan modal dari investor strategis baru.

Masih beruntung perbankan syariah di negara kita terbantu oleh kinerja bank-bank syariah yang menjadi anak perusahaan dari bank-bank milik negara. Ada tiga bank syariah yang dimaksudkan, yakni BSM, Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS), dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS).

Sebetulnya masih ada satu lagi bank BUMN yang punya bisnis bank syariah, yakni Bank Tabungan Negara (BTN). Hanya BTN relatif tertinggal dari ketiga saudaranya itu, karena bisnis syariahnya belum di-spin off menjadi anak perusahaan, dalam arti masih menjadi unit usaha yang secara entitas masih menyatu dengan BTN.

Maka atas inisiatif Kementerian BUMN, sekarang sedang digodok penggabungan antar 3 bank syariah, BSM, BRIS dan BNIS. Ini bukan pekerjaan yang main-main dan sepertinya pihak kementerian secara serius menyiapkan segala sesuatunya, tanpa banyak publikasi. Sejauh ini informasi yang terungkap di media massa tidak begitu banyak, tapi ditargetkan proyek merger ini akan tuntas pada Februari 2021 (tirto.id, 9/7/2020).

Ini bukan pengalaman pertama bank-bank di lingkungan BUMN melakukan merger. Perlu dicatat, Bank Mandiri merupakan hasil penggabungan 4 bank BUMN, yakni Bank Bumi Daya, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Dagang Negara.

Keempat bank tersebut menderita kerugian yang besar saat krisis moneter 1998, sehingga direkomendasikan oleh International Monetery Fund (IMF) yang membantu Indonesia mengatasi krisis, untuk dilakukan penggabungan. 

Tentu merger bank-bank syariah saat ini, kalau jadi terwujud, berbeda latar belakangnya. Bank-bank tersebut tidak dalam keadaan merugi, dan tak ada pihak luar yang merekomendasikan, murni merupakan inisiatif Kementerian BUMN. Pertimbangannya adalah agar tercipta suatu sinergi yang akan melipatgandakan kekuatan bank syariah dalam menggerakkan perekonomian berbasis syariah.

Menarik pula menunggu bank mana dari ketiga bank yang akan digabung tersebut yang akan menjadi pemegang saham pengendali (PSP). Status PSP akan sangat menggiurkan karena nantinya pada laporan keuangan yang dikonsolidasikan antara induk dan anak perusahaan, aset bank syariah hasil merger akan menambah aset bank yang jadi PSP. 

Sejauh ini, dua bank, Bank Mandiri dan BRI bersaing untuk menjadi PSP. Dilihat dari total aset, BSM jauh lebih unggul, seperti telah disingung di atas, asetnya Rp 114 triliun per Maret 2020, sehingga Bank Mandiri sebagai pemilik BSM berpeluang besar untuk menjadi PSP. Adapun pada periode yang sama, aset BNIS menduduki posisi kedua, sebesar Rp 51 triliun, diikuti oleh BRIS sebesar Rp 42 triliun.

Namun dilihat dari sisi status perusahaan, BRIS selangkah di depan karena sudah menjadi perusahaan publik. Tidak gampang menjadi perusahaan publik karena harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ketat sesuai aturan yang berlaku di bursa saham. Bila BRI yang menjadi PSP, akan menguntungkan bagi bank hasil merger, karena langsung juga berstatus perusahaan publik.

Tapi akan ada harga yang harus dibayar BRI sebagai pemilik BRIS jika ingin menjadi PSP, yakni menebus atau membeli sebagian saham Bank Mandiri di BSM serta sebagian saham BNI di BNIS, agar dalam komposisi kepemilikan saham, BRI punya porsi paling besar. 

Satu hal lagi, total saham BRIS yang dipunyai masyarakat akan terdilusi. Sebagai contoh, katakanlah saat ini 20 persen saham BRIS beredar di Bursa Efek Indonesia (BEI), maka setelah merger, bisa saja nilainya menjadi sekitar 5 persen dari total modal hasil penggabungan.

Jangan lupa, diam-diam BNI diperkirkan juga mengincar posisi sebagai PSP. Hal ini karena BNI sangat membutuhkan tambahan aset agar mampu menyalib BCA menjadi bank ketiga terbesar di tanah air, setelah BRI dengan aset sekitar Rp 1.400 triliun per Desember 2020 dan Bank Mandiri dengan aset sekitar Rp 1.300 triliun pada periode yang sama.

Sekiranya BNI yang jadi PSP, aset BRI secara konsolidasi berkurang, aset Bank Mandiri juga berkurang, dan aset BNI akan naik  hingga kemungkinan bisa mencapai Rp 1.000 triliun. Dari data Desember tahun lalu, aset BNI masih sebesar Rp 845 triliun, di bawah BCA yang memiliki aset Rp 918 triliun.

Memang ukuran aset bukan sesuatu yang menjamin sebuah bank akan menjadi bank yang sehat. Bank yang asetnya kecil, namun kokoh dan bisa berkembang secara sehat, akan lebih bagus ketimbang bank dengan aset besar, tapi keropos.

Namun demikian, karena bisnis utama bank adalah menerima simpanan dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat sebagai pinjaman atau kredit (dalam perbankan syariah, istilah kredit diganti dengan pembiayaan), maka aset yang besar mencerminkan kepercayaan masyarakat yang tinggi, sekaligus menggambarkan kapasitasnya yang memadai untuk melayani nasabah yang bersifat massal.

Memang kalaupun merger di atas berhasil dituntaskan, aset bank  tersebut baru di kisaran Rp 200 triliun, masih jauh dari angka psikologis Rp 1.000 triliun. Tapi untuk ukuran bank syariah, ini sudah menjadi raksasa. Tentu bukan tidak ada efek negatifnya, karena dilihat dari sisi persaingan, akan terdapat ketimpangan dengan belasan bank syariah lain.

Kita tunggu seperti apa merger ketiga bank syariah tersebut. Akankah nama banknya diganti seperti merger yang menghasilkan Bank Mandiri tahun 1998 dulu? Yang pasti, Indonesia sudah selayaknya punya bank syariah raksasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun