Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Setelah Jadi Tersangka Kasus Jiwasraya, Ada Lagi Pejabat OJK Ditangkap Terima Suap

24 Juli 2020   07:00 Diperbarui: 24 Juli 2020   07:03 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang tampaknya bukan menjadi masa yang menyenangkan buat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga yang sangat besar kewenangannya ini, sebagai regulator sekaligus juga sebagai pengawas semua perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, oleh sebagian pihak diwacanakan untuk dibubarkan. 

Artinya, bila OJK di bubarkan, akan kembali ke era sebelum ada OJK, di mana untuk regulator dan pengawas perbankan kembali diserahkan kepada Bank Indonesia (BI), sedangkan industri asuransi dan pasar modal berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan.

Tapi bukan soal itu saja yang membuat OJK gusar. Hari-hari ini, integritas personil lembaga superbody itu pantas dipertanyakan publik. Belum lama ini, seorang pejabat tinggi OJK ditetapkan sebagai tersangka pada kasus Jiwasraya. Tentang hal ini secara lebih lengkap dapat dibaca di sini. 

Sekarang ada lagi seorang pegawai OJK berinisial DIW yang ditangkap karena menerima suap dari Bank Bukopin, seperti dilansir dari bisnis.com (22/7/2020). DIW ditahan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dengan sangkaan menerima suap berupa fasilitas kredit sebesar Rp 7,45 miliar dari Bank Bukopin.

Fasilitas kredit tersebut didapatkan DIW sebagai kompensasi tidak memasukkan lima sampling debitur dalam Matriks Konfirmasi Pemeriksaan Bank Bukopin Kantor Cabang Surabaya, pada 31 Desember 2018.

Memang dengan tersandungnya oknum OJK dalam kasus Jiwasraya dan Bank Bukopin, bukan berarti bisa dipukul rata bahwa para pengawas OJK sudah luntur integritasnya. Namun demikian, kejadian tersebut sangat layak untuk menjadi bahan evaluasi oleh pimpinan OJK. Ibaratnya ini sudah lampu kuning, yang harus segera dibenahi sebagai langkah antisipasi, agar di kemudian hari tidak terulang lagi.

Padahal jika diukur dari gaji dan kesejahteraan pegawainya, OJK sudah yang teratas di antara lembaga pengawas lain. Besarnya gaji pegawai OJK antara lain dimaksudkan agar tidak ada yang tergoda untuk menerima suap, atau jika ingin diperhalus katakanlah agar tidak menerima hadiah, dari bank atau perusahaan jasa keuangan lainnya yang diperiksa OJK.

Lagi pula sebetulnya integritas pergawai OJK, atau BI sewaktu dulu yang mengawasi perbankan masih berada di BI, relatif terjaga dengan baik. Saking menjaga integritas, auditornya saat memeriksa di suatu bank, diminta membawa air mineral milik sendiri. Jadi, mereka jangan diharap mau menerima ajakan untuk sekadar makan siang oleh pegawai bank yang diperiksa.

Dengan terjadinya penangkapan pegawai OJK tersebut, sedikit banyak membuat citra yang sudah baik di atas, mulai tercemar. Jelaslah bahwa memberikan gaji yang besar saja, masih belum cukup sebagai cara menangkal praktik suap menyuap. 

Masalah inegritas pegawai bukan soal yang gampang ditangani, karena bagi mereka yang lemah iman, setiap ada kesempatan yang menguntungkan bagi pribadinya, akan dimanfaatkannya. Walaupun hal tersebut akan merusak institusi tempat mereka mengabdi. Demikian pula bagi pegawai yang ingin bergaya hidup mewah, gaji berapapun tak akan pernah cukup.

Setiap perilaku yang menyimpang demi keuntungan pribadi, pada dasarnya tercipta karena adanya tiga faktor, yakni niat si pelaku, kesempatan yang muncul, dan pembenaran atas perbuatan menyimpang tersebut.

Seharusnya dengan gaji si pegawai yang lebih besar, diharapkan tidak lagi menimbulkan niat buat mencari rezeki secara menyimpang. Namun, karena munculnya kesempatan, misalnya bagi pengawas OJK ada tawaran hadiah dari pihak yang diawasinya, maka mental si pegawai pun bisa goyang.

Apalagi bila si pegawai yang tidak tahan godan itu mampu berimajinasi yang membenarkan perilakunya. Contohnya karena ia merasa diperlakukan tidak adil oleh atasannya, sehingga rezeki ekstra dianggapnya sebagai kompensasi.

Atau bisa juga imajinasinya mengatakan bahwa negeri ini sudah terlanjur rusak dan korupsi dianggap sudah jadi budaya. Maka kalau ia ikut-ikutan nimbrung menerima gratifikasi, bukankah itu semacam melestarikan "budaya bangsa" tersebut.

Jadi, bagi OJK atau lembaga sejenis lainnya, termasuk perusahaan milik negara, bila memang punya kemampuan secara finansial, menaikkan gaji pegawainya, boleh-boleh saja dalam rangka meningkatkan motivasi para pegawai. Hanya saja harap diingat, menaikkan gaji saja belum cukup, bila perilaku pegawai tidak diawasi.

Harus pula diciptakan sistem yang sedemikian rupa sehingga menutup celah sekecil apapun, agar tidak muncul kesempatan bagi pegawai untuk melakukan perbuatan menyimpang demi keuntungan pribadinya. Prinsip tata kelola yang baik harus diterapkan, demikian pula sistem reward dan punishment harus bisa dijalankan secara konsisten. 

Dalam rangka regenarasi pegawai, sangat penting pula ketika melakukan seleksi penerimaan pegawai baru, faktor integritas calon pegawai menjadi hal yang tak dapat ditawar. Meskipun harus diakui, sangat tidak gampang mengukur integritas seseorang, meskipun menggunakan psikotes dari lembaga yang punya reputasi tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun