Terakhir dikatakannya, kalau sebetulnya ia salah hitung, sehingga kalau memaksakan dengan harga semula, ia akan rugi. Tapi ketika Leo ingin membatalkan pekerjaan, dan meminta uang muka Rp 5 juta dikembalikan, ia juga keberatan, karena uang tersebut sudah terpakai, termasuk untuk biaya pembongkaran kanopi yang lama.
Akhirnya Leo menceramahi si pemborong tentang pentingnya etika berbisnis. Kejujuran adalah hal utama yang sangat perlu dijaga agar usaha seseorang bisa maju. Leo merasa tertipu, padahal awalnya Leo percaya karena si pemborong terkesan seorang yang alim.Â
Setelah diceramahi tersebut, besoknya si pemborong muncul di rumah Leo, berjanji untuk betul-betul menyelesaikan pekerjaannya, namun ia meminta uang lagi Rp 3 juta agar cukup untuk membeli kanopi yang mau dipasang. Leo yang berharap pekerjaan segera tuntas, memberikan uang sejumlah yang dimintanya.
Sayangnya, setelah itu kembali si pemborong bikin ulah lagi. Sampai minggu pertama September ini, ketika Leo bercerita kepada saya, si pemborong belum juga memasang kanopi yang dijanjikan. Saya sendiri bingung mau menyarankan apa pada teman saya itu. Meminta ia bersabar, rasanya ia sudah cukup sabar.
Meminta ia melaporkan ke pihak kepolisian karena merasa tertipu, mungkin menjadi alternatif terakhir, mengingat ada prosedur birokrasi yang harus diikuti dan agak merepotkan juga. Lagi pula, Leo lalai dengan urusan dokumen. Hanya ada kuitansi saat menyerahkan uang muka, tanpa ada kontrak atau perjanjian tertulis, tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang ditandatangani bersama.
Mengikhlaskan kerugian? Uang Rp 8 juta yang telah diberikan Leo, bukan jumlah yang sedikit. Saya tahu, meskipun rumahnya besar, namun sejak pensiun sebagai PNS setahun yang lalu, penghasilan Leo tidaklah banyak. Saya hanya berdoa semoga si pemborong segera memenuhi janjinya.
Saya teringat juga dengan pengalaman kakak ipar saya sendiri, dua tahun lalu. Kebetulan rumahnya tidak begitu jauh dari rumah saya, sama-sama di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Ceritanya, si kakak membuat sebuah kamar di lantai atas rumahnya, yang tadinya hanya ruang terbuka begitu saja. Kamar yang dibuat itu memakai peredam suara, karena akan menjadi ruangan anak lelakinya berlatih memainkan alat musik (drum).
Awalnya pekerjaan berjalan lancar, sampai menurut pemborong telah selesai 50 persen pekerjaan. Ia meminta uang lagi karena akan memasuki tahap final yang lebih penting yakni memasang materi peredam suara di semua dinding. Itupun seperti akan lancar, ketika tiga orang tukangnya selama tiga hari menempel bahan di dinding.
Namun dengan alasan menunggu bahan lain yang dipesan belum datang, tukang mulai tidak masuk dan si pemborong berdalih seminggu lagi baru pekerjaan akan dilanjutkan. Tapi itu rupanya sekadar janji palsu saja, karena setelah itu si pemborong menghilang tanpa kabar. Ketika dicari ke rumahnya, ia tidak di tempat.