Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jangan Sampai Tertipu, Begini Tips Aman Memperbaiki Rumah dengan Sistem Borongan

24 September 2020   17:00 Diperbarui: 26 September 2020   19:11 4044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi renovasi rumah (Sumber: www.pixabay.com)

Seorang teman saya, sebut saja namanya Leo, tertipu oleh seorang pemborong yang dipercayanya untuk mengganti kanopi yang menutupi bagian atas halaman depan rumahnya yang relatif luas. Fungsinya semacam atap transparan tanpa dinding. 

Area itu bisa memuat tiga mobil sekiranya ada yang bertamu membawa kendaraan sendiri. Dengan adanya kanopi, tentu mobil yang lagi terparkir di bawahnya tidak kena terik cahaya matahari atau terguyur air hujan.

Nah, awal Agustus lalu, Leo ingin memasang kanopi baru karena yang lama sudah bolong-bolong, bocor jika kena hujan. Memang usianya sudah lama, sudah layak diganti. 

Berdasarkan informasi hasil berselancar di dunia maya, Leo memutuskan menghubungi dua orang, untuk nanti dipilih salah satu yang akan mengerjakan pemasangan kanopi baru.

Orang pertama datang ke rumah Leo dan menghitung taksiran biaya Rp 15 juta. Leo belum menjawab iya atau tidak, minta waktu untuk berpikir. 

Besoknya Leo meminta orang kedua untuk datang ke rumah. Dengan bahan yang sama seperti yang ditawarkan orang pertama, orang kedua memasang harga Rp 12,5 juta. Akhirnya setelah mau ditawar jadi Rp 11,5 juta, Leo memutuskan memilih orang kedua.

Untuk tahap awal, orang tersebut, yang sekarang sudah bertindak sebagai pemborong, minta uang muka Rp 5 juta untuk dipakai membeli bahan. Sebuah hal yang wajar. Leo langsung mentransfer ke rekening orang tersebut. Besoknya juga ada tukang yang datang membongkar kanopi lama. Pembongkaran ini memakan waktu dua hari.

Masalah muncul ketika setelah itu si pemborong ini tidak lagi nongol-nongol selama seminggu. Ponselnya tidak bisa dihubungi, baik ketika ditelpon, maupun saat dikirimi pesan pendek.

Untunglah Leo sempat mencatat alamat lengkapnya, yang tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ketika alamat itu ditemukan, memang sepertinya ada semacam bengkel di bagian depan, tapi dalam kondisi tertutup. Dari warga yang tinggal di sebelahnya, didapat informasi, bahwa si pemborong lagi pulang kampung ke Medan, karena ada saudaranya yang meninggal dunia.

Setelah si pemborong kembali ke Jakarta, Leo berhasil mengontak via ponselnya. Namun ketika ditanya kapan mau memasang kanopi yang baru, ada-ada saja alasannya sehingga tertunda-tunda terus. 

Suatu kali ia bilang, barangnya belum tersedia di toko material tempatnya biasa berbelanja. Di waktu lain, ia bilang menunggu tukangnya yang lagi berhalangan.

Terakhir dikatakannya, kalau sebetulnya ia salah hitung, sehingga kalau memaksakan dengan harga semula, ia akan rugi. Tapi ketika Leo ingin membatalkan pekerjaan, dan meminta uang muka Rp 5 juta dikembalikan, ia juga keberatan, karena uang tersebut sudah terpakai, termasuk untuk biaya pembongkaran kanopi yang lama.

Akhirnya Leo menceramahi si pemborong tentang pentingnya etika berbisnis. Kejujuran adalah hal utama yang sangat perlu dijaga agar usaha seseorang bisa maju. Leo merasa tertipu, padahal awalnya Leo percaya karena si pemborong terkesan seorang yang alim. 

Setelah diceramahi tersebut, besoknya si pemborong muncul di rumah Leo, berjanji untuk betul-betul menyelesaikan pekerjaannya, namun ia meminta uang lagi Rp 3 juta agar cukup untuk membeli kanopi yang mau dipasang. Leo yang berharap pekerjaan segera tuntas, memberikan uang sejumlah yang dimintanya.

Sayangnya, setelah itu kembali si pemborong bikin ulah lagi. Sampai minggu pertama September ini, ketika Leo bercerita kepada saya, si pemborong belum juga memasang kanopi yang dijanjikan. Saya sendiri bingung mau menyarankan apa pada teman saya itu. Meminta ia bersabar, rasanya ia sudah cukup sabar.

Meminta ia melaporkan ke pihak kepolisian karena merasa tertipu, mungkin menjadi alternatif terakhir, mengingat ada prosedur birokrasi yang harus diikuti dan agak merepotkan juga. Lagi pula, Leo lalai dengan urusan dokumen. Hanya ada kuitansi saat menyerahkan uang muka, tanpa ada kontrak atau perjanjian tertulis, tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang ditandatangani bersama.

Mengikhlaskan kerugian? Uang Rp 8 juta yang telah diberikan Leo, bukan jumlah yang sedikit. Saya tahu, meskipun rumahnya besar, namun sejak pensiun sebagai PNS setahun yang lalu, penghasilan Leo tidaklah banyak. Saya hanya berdoa semoga si pemborong segera memenuhi janjinya.

Saya teringat juga dengan pengalaman kakak ipar saya sendiri, dua tahun lalu. Kebetulan rumahnya tidak begitu jauh dari rumah saya, sama-sama di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Ceritanya, si kakak membuat sebuah kamar di lantai atas rumahnya, yang tadinya hanya ruang terbuka begitu saja. Kamar yang dibuat itu memakai peredam suara, karena akan menjadi ruangan anak lelakinya berlatih memainkan alat musik (drum).

Ilustrasi renovasi rumah (Sumber: gridoto.com)
Ilustrasi renovasi rumah (Sumber: gridoto.com)
Ketika itu, persis seperti pengalaman Leo, tak ada perjanjian, hanya saling percaya begitu saja, karena si pemborong ternyata kenal dengan tetangga si kakak. Pembayarannya dibagi dua termin, 50 persen dibayar dimuka, dan sisanya ketika pekerjaan telah selesai separuhnya.

Awalnya pekerjaan berjalan lancar, sampai menurut pemborong telah selesai 50 persen pekerjaan. Ia meminta uang lagi karena akan memasuki tahap final yang lebih penting yakni memasang materi peredam suara di semua dinding. Itupun seperti akan lancar, ketika tiga orang tukangnya selama tiga hari menempel bahan di dinding.

Namun dengan alasan menunggu bahan lain yang dipesan belum datang, tukang mulai tidak masuk dan si pemborong berdalih seminggu lagi baru pekerjaan akan dilanjutkan. Tapi itu rupanya sekadar janji palsu saja, karena setelah itu si pemborong menghilang tanpa kabar. Ketika dicari ke rumahnya, ia tidak di tempat.

Akhirnya si kakak tak mau memperpanjang masalah, ikhlas dengan kerugian yang dideritanya. Belajar dari pengalaman tersebut, saya pun menyarankan kepada si kakak untuk mencari pemborong lain, memakai perjanjian tertulis, serta tahapan pembayarannya dibagi empat kali, agar jika pemborong kabur lagi, kerugian tidak terlalu besar. 

Pembayaran setiap tahap baru dicairkan setelah si kakak melihat bukti kemajuan pekerjaan. Khusus pembayaran tahap akhir, baru akan dilakukan saat pekerjaan telah tuntas 100 persen, karena logikanya, sebagian besar merupakan keuntungan bagi si pemborong, bukan lagi untuk biaya pembelian material.

Alhamdulillah, akhirnya pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Namun demikian, kerugian si kakak dari pemborong sebelumnya memang lumayan besar, karena kemajuan pekerjaan ketika ditinggal kabur belum 50 persen. Kemudian, sebagian materi peredam suara yang telah terpasang, harus dibongkar ulang, karena bahannya bermutu rendah.

Begitulah, memperbaiki rumah dengan sistem borongan memang lebih praktis. Masalahnya, sekarang tidak gampang mencari pemborong yang jujur. Agar tidak tertipu, sebaiknya harus ada perjanjian tertulis, termin pembayaran dibagi empat atau lima kali, di mana pembayaran terakhir dilakukan ketika pekerjaan betul-betul telah selesai sesuai yang diperjanjikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun