Harta tidak akan dibawa mati, kata orang bijak. Tapi kata-kata itu tidak menyurutkan niat seseorang untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ada yang berhasil memenuhi hasratnya itu dengan bekerja keras, ada juga yang berhasil karena pintar memelihara hubungan baik dengan pejabat tinggi.
Namun demikian, bila melihat di negara kita hanya segelintir orang yang berpredikat konglomerat dengan timbunan harta yang tidak akan habis untuk tujuh turunan, dapat dipastikan bahwa perburuan harta bagi orang kebanyakan belum membuahkan hasil sesuai keinginannya.Â
Jangan-jangan yang sudah konglomerat pun juga masih belum puas, akan berburu dan berburu terus menerus hingga ajal menjemput. Tak heran, bila para orang super kaya itu tidak ingat punya berapa buah perusahaan, saking  banyaknya.
Terlepas dari banyak sedikitnya harta yang dikumpulkan seseorang, pada akhirnya betul juga kata orang bijak itu tadi, harta tersebut tidak akan dibawa mati.Â
Sekiranya sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, seseorang telah membagi warisannya secara adil dan diterima dengan baik oleh semua ahli waris, harta yang ditinggalkannya barangkali membawa berkah.
Akan berbeda halnya bila ada ahli waris yang tidak puas, harta yang melimpah malah membawa bencana, karena tercium aroma peperangan antar saudara yang punya hubungan darah. Maka drama rebutan warisan bukan sesuatu yang asing, seperti yang sekarang lagi ramai diberitakan sejumlah media massa.
Ceritanya, konglomerat pendiri kerajaan bisnis kelompok Sinarmas, Eka Tjipta Widjaja, yang telah meningal dunia pada 26 Januari 2019, meninggalkan harta yang melimpah ruah.Â
Dilansir dari idxchannel.com (14/7/2020), harta warisannya mencapai Rp 672,1 triliun, antara lain yang terbesar berasal dari aset PT. Indah Kiat Pulp & Paper dan Sinarmas Land.
Seorang anak Eka Tjipta, Freddy Widjaja, menggugat lima orang kakak tirinya berkaitan dengan aset grup Sinarmas yang ratusan triliun rupiah di atas. Perlu diketahui, Freddy merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, yang terlahir dari pasangan Eka Tjipta Widjaja dan Lidia Herawaty Rusli.Â
Masalahnya, seperti yang ditulis tirbunnews.com (14/7/2020), Freddy adalah anak Eka Tjipta dengan status di luar perkawinan.  Disebutkan bahwa pasangan Eka Tjipta dan Lidia menikah  secara adat/agama Budha di Jakarta, 3 Oktober 1967, namun tidak tercatat di Catatan Sipil.
Jangan mengira hanya anak orang kaya saja yang berebut warisan. Kisah rebutan warisan masyarakat kelas bawah yang tidak diberitakan media, karena dianggap tidak ada nilai beritanya, ternyata tak kalah seru.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan etnis tertentu, di Jakarta cukup banyak ditemukan orang-orang yang merupakan warga asli kota yang dulu bernama Batavia itu, yang memilih untuk terdepak dari ibu kota dengan cara menjual rumah sempit peninggalan orang tuanya.Â
Sebetulnya sekecil apapun rumah di gang sempit di Jakarta, harganya tetap relatif mahal. Sebuah rumah dengan ukuran seluas 48 meter persegi saja, katakanlah panjang 8 meter dan lebar 6 meter, sekarang sudah berharga sekitar Rp 500 juta.Â
Hanya saja bila uang sejumlah Rp 500 juta dibagi untuk 5 orang anak, masing-masingnya tentu memperoleh Rp 100 juta. Jumlah yang tidak cukup buat memiliki rumah di ibu kota, sehingga mungkin hanya bisa untuk membeli rumah kecil dan sederhana sekali, jauh dari Jakarta.
Maka drama rebutan warisan kelas bawah ini biasanya terjadi antara ahli waris yang ingin buru-buru menjual rumah warisan secepat mungkin, karena sudah terdesak oleh tekanan ekonomi, dengan ahli waris yang tidak ingin buru-buru menjual rumah, dengan maksud agar harga jualnya bisa lebih tinggi.
Bahkan tidak jarang pula terjadi, ketika orang tuanya lagi berjuang melawan sakit parah, satu atau dua orang anak yang sudah kepepet, mengajak saudaranya untuk berunding soal menjual warisan. Tentu saja akan ada perlawanan dari saudaranya yang tidak setuju, karena dianggap sudah kebablasan.
Lalu bagaimana tindakan terbaik agar rebutan warisan bisa dihindari? Idealnya orang tua yang usianya sudah di atas 65 tahun, jika ingin mengatur secara khusus tentang pembagian warisan bagi anak-anaknya, segera membuat surat wasiat.
Alasan atau pertimbangan yang dipakai orang tua akan lebih baik dijelaskan pula dalam surat tersebut. Sekiranya berpotensi menuai protes dari sebagian anak-anaknya, orang tua bisa menjelaskan secara langsung dengan pola bermusyawarah.
Jika tidak ada wasiat tertentu hingga kedua orang tua meningal dunia, maka kewibawaan anak tertua dan kesadaran semua ahli waris untuk tidak ribut-ribut, sangat diperlukan. Sebaiknya dipercepat saja pembagiannya dengan mengacu pada ketentuan agama yang dianut keluarga tersebut.
Harta akan selalu ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi akan mendatangkan manfaat bila digunakan secara tepat. Namun, di sisi lain, akan menjadi sumber bencana bila tidak disikapi secara bijak oleh semua pihak yang terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H