Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merupakan lembaga yang saat ini eksistensinya terasa makin penting, ketika berita mengenai perbankan nasional di media massa relatif tidak menggembirakan. Tentu ini karena kinerja bank-bank tengah mengalami penurunan tajam, terutama sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian tidak lagi berputar secara normal.
Sejumlah bank disebut-sebut sedang mengalami kesulitan likuiditas. Bahkan ada bank yang diantre nasabah yang ingin menarik simpanannya, baik melalui ATM maupun langsung datang ke kantor bank tersebut. Ini bukan antre biasa, namun sudah dapat disebut sebagai rush, karena banyak sekali nasabahnya yang mau mengambil uang secara serentak. Mereka takut bila bank tempatnya menyimpan mengalami kebangkrutan.
Padahal, bila saja LPS lebih gencar melakukan sosialisasi, masyarakat tidak perlu panik. Sekalipun ada bank yang bangkrut, dana nasabah tetap akan aman, karena diganti oleh LPS sepanjang memenuhi persyaratan. Tentu LPS perlu waktu untuk melakukan verifikasi sebelum membayarkannya pada nasabah yang berhak.
Adapun persyaratan simpanan yang dapat diklaim ke LPS adalah yang jumlahnya per nasabah tidak lebih dari Rp 2 miliar, simpanan itu tercatat pada pembukuan bank, dan suku bunga yang diterima nasabah tidak lebih besar dari suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Hal inilah yang harus disampaikan LPS kepada masyarakat banyak.
Nah, ada berita terbaru tentang LPS yang dikaitkan dengan kesulitan likuiditas yang tengah dihadapi sejumlah bank. Dilansir dari harian Kompas (13/7/2020), disebutkan bahwa LPS telah mempunyai wewenang baru sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan  Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
Ringkasnya, LPS diberi kewenangan menempatkan dananya pada bank yang mengalami permasalahan solvabilitas. Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan. Perlu dicatat, pada hakikatnya simpanan masyarakat di suatu bank, baik berupa tabungan, deposito, atau giro, merupakan utang bank kepada para penyimpan.
Saat ini aset LPS tercatat sebesar Rp 128 triliun, yang sebagian besar ditempatkan dalam beberapa jenis instrumen keuangan agar memperoleh imbalan, sehingga asetnya makin berkembang. Instrumen keuangan dimaksud bisa berupa surat berharga negara, deposito di bank-bank papan atas, dan sebagainya.
Adapun sumber dana LPS bersumber dari iuran semua bank yang terdaftar sebagai peserta penjaminan LPS. Iuran yang disebut sebagai premi penjaminan itu besarnya 0,2 persen per tahun dari total dana pihak ketiga yang diterima bank, yakni simpanan masyarakat berupa tabungan, deposito dan giro.
Maka terhadap kewenangan baru tersebut di atas, tentu menjadi pertanyaan, apakah tidak akan jadi bumerang buat LPS? Selama ini kalaupun LPS menempatkan dananya sebagai deposito di beberapa bank, itu pasti memilih bank-bank yang sehat, sehingga tidak ada kekhawatiran karena penempatan ini diyakini akan kembali ke LPS pada saat jatuh tempo.
Namun jika ditempatkan pada bank yang sakit, seperti ditulis Kompas di atas, berpotensi menabrak prinsip tata kelola pemerintahan  yang baik, yang oleh Dradjad Wibowo, Ekonom Senior Indef, dijabarkan mencakup segi pengawasan, transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian, dan penegakan hukum.
Tujuan penempatan dana LPS di bank yang sakit adalah dalam rangka penyelamatan bank. Namun sebetulnya urusan penyelamatan bank sebaiknya tetap menjadi domain Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti selama ini. Karena OJK adalah regulator sekaligus mengawasi dan menjaga kesehatan bank. Adapun bila suatu bank sudah mau dilikuidasi karena tidak mungkin lagi diselamatkan, baru diserahkan ke LPS.Â
Kalau sekarang LPS juga diminta membantu bank yang tengah mengalami kesulitan likuiditas, bila tidak dilakukan dengan ekstra hati-hati, bisa-bisa dana yang dikucurkan LPS akan "tenggelam" begitu saja. Toh bagaimana LPS mampu mengawasi dana yang dikucurkannya tersebut, bila nantinya digunakan untuk pemberian kredit baru oleh pihak bank, dan kredit tersebut kemudian menjadi kredit macet.
Maka LPS akan dua kali rugi, sudahlah penempatan dananya amblas begitu saja, jika akhirnya bank tersebut terpaksa dilikuidasi, LPS pula yang harus membayar klaim terhadap simpanan nasabahnya. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Namun jika yang terjadi kondisi yang sebaliknya, LPS juga mendapat keuntungan ganda. Maksudnya, bila bank yang ketempatan dana LPS bisa sembuh dari penyakitnya, maka LPS akan mendapatkan kembali dananya, tentu berikut dengan imbalan bunganya. Tidak itu saja, LPS juga terhindar dari kewajiban membayar klaim kepada nasabah bank itu, karena banknya sudah terselamatkan.
Jadi kebijakan terbaru tentang wewenang LPS tersebut boleh disebut sebagai sebuah pertaruhan besar. LPS harus ekstra hati-hati bila ingin menggunakan wewenangnya itu. Sekiranya LPS tidak yakin bank yang akan dibantu bisa terselamatkan, sebaiknya LPS tidak berani mengambil risiko dengan menempatkan dananya.
Terhadap bank yang menurut analisis pihak LPS masih berpeluang besar untuk diselamatkan, itupun LPS tetap harus hati-hati. Sebaiknya LPS punya sejumlah personil yang kompeten yang secara full time mendampingi bank tersebut, baru dibolehkan mengucurkan dana.
Ingat, bila kas LPS jebol gara-gara gagal menyelamatkan satu atau dua bank, maka kredibilitasnya akan dipertanyakan masyarakat. Lalu bukan tidak mungkin beberapa bank akan di-rush para nasabahnya yang ketakutan simpanannya tidak bisa dicairkan dan diduga tidak pula mampu dijamin oleh LPS.
Bila yang terkena rush itu bank-bank papan atas, maka alamat krisis moneter seperti tahun 1998 dulu bisa terulang kembali. Inilah skenario terburuk yang sangat tidak kita harapkan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H