Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Macetnya Realisasi Pengeluaran Anggaran, Maju Kena Mundur Kena

1 Juli 2020   00:01 Diperbarui: 1 Juli 2020   13:47 1326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/POOL/nz

Presiden Joko Widodo mulai memperlihatkan sikap marahnya kepada beberapa orang menteri. Persoalannya, anggaran negara yang sudah ratusan triliun rupiah dialokasikan untuk penanganan pencegahan pandemi Covid-19 dan penanggulangan dampaknya terhadap perekonomian, justru seret dalam merealisasikan pengeluarannya. 

Tentu saja akibatnya, berbagai pihak yang diharapkan menerima berbagai insentif atau bantuan, seperti dokter dan tenaga medis, masyarakat yang memerlukan bantuan sosial, ataupun para pelaku usaha mikro dan kecil yang memerlukan fasilitas khusus, belum banyak yang menerima sesuai harapan.

Ini memang ibarat "maju kena mundur kena". Mempercepat realisasi pengeluaran anggaran, bila tidak dilakukan secara tepat, akan menjadi "santapan" instansi yang melakukan audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Jika tidak melakukannya, atau melakukannya dengan sangat terlambat, artinya tidak saja mereka yang berhak menerima bantuan masih akan sangat kecewa, tapi juga bisa berakibat pencopotan jabatan menteri.

Presiden Jokowi sudah mengancam melakukan reshuffle kabinet dengan tidak segan-segan akan mengganti beberapa menteri yang dinilai kinerjanya rendah. 

Beberapa media menilai kemungkinan gertakan itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan menteri yang membidangi koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.

Akuntabilitas penggunaan anggaran memang jadi persoalan runyam. Ada dua masalah besar, yakni serapannya yang rendah secara kuantitas, dan kualitasnya pun rendah dalam arti tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu, tidak tepat penggunaan, bahkan bisa juga tidak tepat jumlah bila ada oknum yang menyunat.

Meskipun peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini dianggap tidak segalak periode sebelumnya, tapi tetap saja membuat para pejabat pemerintah harus memperhitungkannya. 

Demikian juga ketika menghadapi pemeriksaan rutin oleh BPK, instansi yang diperiksa harus mampu menunjukkan dokumen yang lengkap dan benar sesuai ketentuan yang berlaku.

Makanya dari pada bermasalah dengan aparat hukum, adakalanya pejabat pemerintah cenderung bermain aman. Biarlah serapan anggaran rendah, sepanjang atas semua yang telah dikeluarkan, bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Artinya, fakor kuantitas menjadi korban dari faktor kualitas.

Jadi, kembali pada Presiden Jokowi yang memperlihatkan kejengkelannya, publik menangkapnya sebagai hal yang wajar. Kesabaran seorang presiden tentu ada batasnya. 

Seperti yang terlihat pada tayangan berita dari beberapa stasiun televisi, beliau sangat gemas. Berkali-kali beliau bilang bahwa sekarang ini adalah dalam kondisi extraordinary atau luar biasa, tak bisa disikapi dengan kerja yang biasa-biasa saja.

Namun di situ pulalah letak permasalahannya. Jangan-jangan kalau menteri diganti pun, hasilnya akan tetap sama saja. Soalnya, birokrasi dalam pengeluaran anggaran belanja negara relatif ribet. Banyak prosedur yang harus dilewati dan banyak dokumen yang harus disiapkan.

Belum lagi kalau kita bicara tentang keakuratan data. Sebagai contoh, pengkinian data yang berisikan daftar nama siapa saja yang berhak menerima bantuan sosial di suatu daerah, bukan pekerjaan gampang. 

Tidak saja karena ada unsur kekeliruan yang tidak disengaja, tapi juga ada yang diduga karena sengaja menyusupkan nama-nama yang tidak layak menerima.

Presiden Jokowi maunya cepat dan selamat. Memang begitulah idealnya. Tapi yang dihadapi di lapangan tidak sesederhana itu. 

Kemungkinannya adalah mau cepat tapi ketar ketir saat berurusan dengan KPK atau pihak kejaksaan, atau mau selamat tapi lambat. Akhirnya pepatah lama juga yang berlaku, biar lambat  asal selamat. Padahal pepatah itu sudah tidak cocok lagi diterapkan di era milenial ini.

Tampaknya kecepatan yang dihadirkan berkat kemajuan teknologi, belum diiringi oleh perbaikan sikap mental dari mereka yang menggunakan teknologi itu. Sebagai contoh, proses pengambilan keputusan di sebuah instansi sudah bisa dihasilkan dengan menggelar rapat secara online. 

Tapi notulen rapatnya, penerbitan surat keputusannya, tetap masih memerlukan paraf dan tanda tangan secara berjenjang dari beberapa orang pejabat sesuai hirarkinya.

Demikian pula transaksi penyerahan bantuan sosial bisa dilakukan secara elektronik melalui aplikasi tertentu, dengan catatan semua penerima sudah mempunyai rekening bank. Tapi untuk pertangungjawabannya, tetap diperlukan tanda tangan masing-masing penerima pada suatu daftar tertulis.

Jadi, dalam suatu sistem yang bergerak cepat, ada beberapa subsistem yang pergerakannya lamban karena masih berpola lama, akibatnya secara keseluruhan akan lambat pula penyelesaiannya. Maka untuk pembenahannya, banyak pihak perlu duduk bersama. 

Terutama sekali pihak yang menyusun petunjuk pelaksanaan dari sebuah program, pihak penyusun sistem aplikasi, dan aparat hukum atau auditor yang nanti akan memeriksa setelah program dijakankan dan dilaporkan sebagai pertanggungjawaban, semuanya harus punya persepsi yang sama.

Dan tak kalah pentingnya, revolusi mental jangan hanya sebatas jargon semata. Jangan lagi ada aparat pemerintah yang bermental proyek, yang ingin mengutil sebagian dari anggaran yang dikucurkan kepada pihak-pihak yang semestinya menerima.

dok. jawapos.com
dok. jawapos.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun