Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

55 Tahun Harian Kompas, Sikap Moderat Membawa Selamat

28 Juni 2020   00:01 Diperbarui: 28 Juni 2020   06:55 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka akhirnya sejak Juli 1986 saya menjadi warga DKI Jakarta, karena saya ditempatkan di kantor pusat. Setelah 6 bulan bergabung di bank tersebut, SK PNS saya juga terbit. Saya terpaksa membuat surat permohonan pengunduran diri sebagai PNS, karena saya sudah bertekad untuk tetap berkarier di bank.

Karena tulisan saya mengenai perbankan pernah beberapa kali dimuat pada halaman Opini harian Kompas, itu berlangsung dari 1988 hingga 1995, alhamdulillah turut membantu keberhasilan saya, sehingga sedikit lebih cepat mendapat promosi jabatan ketimbang teman-teman satu angkatan.

Soalnya, seperti saya bilang tadi, Kompas itu dibaca oleh para pengambil keputusan, termasuk para petinggi di tempat saya bekerja.

Kenapa Kompas menjadi koran yang wajib ada di ruang pejabat?

Ingat saat itu koran partai penguasa adalah Suara Karya, yang ada kaitanya dengan Golongan Karya. Jangan heran semua kantor wajib berlangganan Suara Karya, tapi justru tidak dibaca, karena isinya banyak berupa reportase kegiatan Presiden Soeharto dan pejabat pemerintah lainnya.

Jadi, Kompas bukan diwajibkan ada, tapi sudah menajdi kebutuhan bagi pembacanya. Sama butuhnya dengan sarapan di pagi hari. Tapi tentu saja bukan tidak ada kritik yang dialamatkan pada harian yang didirikan oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama itu.

Kalangan yang tidak menyukai pemerintah menyebut Kompas terlalu sopan dalam memberikan kritik. Namun Kompas jelas bukan corong pemerintah.

Mottonya yang berbunyi Amanat Hati Nurani Rakyat tetap dipegang teguhnya. Maka pemerintah tidak bisa bersembunyi ketika Kompas mengupas tuntas betapa memprihatinkannya dunia pendidikan dan kesehatan di pedalaman Papua, sekadar menyebut satu contoh.

Bagi kalangan Islam tertentu, Kompas juga disebutkan sebagai korannya umat kristiani. Pendiri Kompas memang bukan Islam. Tapi justru Kompas lebih banyak memberitakan pandangan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah, ormas Islam yang bersikap moderat, yang sepertinya klop dengan gaya pemberitaan Kompas yang juga moderat.

Ya, akhirnya terpulang pada penilaian masing-masing pembaca. Ada yang menilai moderat sebagai kelemahan, karena tidak jelas "kelamin"-nya.

Tapi bagi saya moderat adalah kelebihan, karena problem yang kita hadapi sebagai warga negara yang baik tak bisa dilihat sebagai hitam-putih. Kenyataannya yang kita hadapi adalah wilayah abu-abu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun