Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tentang Tradisi Bagi-bagi "Kue" Kekuasaan di BUMN

3 Juli 2020   17:36 Diperbarui: 3 Juli 2020   18:08 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harian Kompas (26/6/2020) menurunkan sebuah berita yang menarik perhatian saya. Judulnya "BUMN Belum Berubah". Intinya menyatakan bahwa meskipun BUMN sekarang ini disebut-sebut sudah banyak mengalami perubahan, tradisi bagi-bagi "kue" kekuasaan untuk pengisian jabatan tetap berlangsung hingga kini.

Tentu saja kalau ditanyakan kepada pejabat Kementerian BUMN, akan muncul sanggahan atas dugaan adanya tradisi itu. Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengakui banyak nama yang diusulkan untuk pengisian calon pejabat di BUMN. Namun selama punya kompetensi, tidak masalah, ujar Arya.

Kebetulan saya lumayan lama bekerja di sebuah BUMN. Sedikit banyak saya mengetahui tentang apa yang disebut tradisi bagi-bagi kekuasaan, meskipun tentu saja bersifat subjektif, dari kacamata yang saya pakai. Toh, terminologi kompetensi para calon pun, walaupun ada alat ukur berupa fit and proper test, menurut saya sepanjang  si calon tidak pernah punya rekam jejak yang negatif, tidaklah menjadi faktor penghambat.

Makanya, kriteria kedekatan dengan pihak pengambil keputusan, sehingga ditunjuk untuk menduduki suatu jabatan di perusahaan milik negara, menjadi hal yang paling menentukan. Memang secara efektif baru akan sah setelah lulus fit and proper test, namun pengalaman selama ini sangat jarang yang gagal di tes ini.

Toh, ujian fit dan proper yang dilakukan pihak regulator itu dilaksanakan tidak secara dadakan. Katakanlah hari ini seseorang yang dianggap mampu oleh Kementerian BUMN diangkat sebagai pejabat di perusahaan X. Hari ini si pejabat baru itu sudah bisa bekerja, namun belum berhak menandatangani surat-surat yang ditujukan kepada pihak luar atau dokumen yang mengikat secara hukum.

Ujian di atas baru akan dijalaninya sekitar satu atau dua bulan setelah diangkat. Dan selama menunggu jadwal ujian, si pejabat bisa membekali diri dengan "kursus singkat" yang dipandu oleh staf senior di perusahaan yang dipimpinnya. Tentu saja si pemandu ini sudah menguasai materi yang akan diujikan, antara lain seperti manajemen risiko, compliance, sistem pengendalian internal, dan tentu saja seluk beluk bisnis.

Nah, yang lebih berat adalah bagaimana caranya agar bisa ditunjuk oleh pihak kementerian BUMN untuk mendapatkan satu kursi direktur atau komisaris di sebuah perusahan pelat merah. Tak akan ada disebutkan secara tertulis syarat harus dekat dengan Menteri BUMN atau dengan pejabat tinggi negara lainnya yang akan meng-endorse.

Bahkan rasanya cukup fair karena pihak internal perusahaan diwajibkan menyetor sejumlah nama calon terbaik dari mereka yang telah berkarier sekian lama di perusahaan tersebut. Semua nama itu akan di-assess oleh pihak independen yang punya reputasi bagus sebagai konsultan rekrutmen pejabat. Psikotes dan wawancara akan dilakukan oleh pihak konsultan itu.

Namun akhirnya setelah ditetapkan susunan direksi dan komisaris yang baru di sebuah BUMN, lazim muncul bisik-bisik bahwa mereka yang terpilih adalah yang dekat dengan istana, dekat dengan menteri, atau dengan partai pendukung pemerintah. Tentu kalau diminta bukti konkrit, agak sulit menunjukkan. Ini ibarat kentut, ada baunya tapi tidak terlihat.

Dibandingkan dengan pemilihan direktur, pemilihan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas perusahaan, relatif lebih kencang bau "kentut"-nya. Di sinilah barangkali tudingan adanya tradisi bagi-bagi kekuasaan itu dialamatkan, karena banyak di antaranya yang merangkap jabatan, sehingga mendapat gaji dobel.

Memang kemudian pihak Kementerian BUMN membantah adanya gaji dobel, karena yang diterima oleh komisaris dari perusahaan negara yang diawasinya adalah berupa honorarium, bukan gaji (kompas.com, 29/6/2020).

Tak perlu diperdebatkan apa bedanya gaji dan honor, tapi kalau dengan label honor tersebut, seorang komisaris yang punya jabatan di sebuah kementerian, mendapat honor yang lebih besar dari gaji bulanannya, tetap saja rasanya kurang pas.

Apalagi bila penghasilan tahunan  berupa tantiem, yang merupakan bagian dari laba perusahaan yang dibagikan buat direksi dan komisaris, ikut diperhitungkan. Jumlahnya sangat-sangat menggiurkan, bisa sebelas digit per orang, untuk BUMN papan atas.

Menarik melihat berita yang ditulis oleh kompas.com (2/7/2020). Berita dimaksud mengutip pernyataan anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, bahwa komisaris yang merangkap jabatan jarang menghadiri pertemuan yang membahas permasalahan perusahaan.

Berapa jumlah komisaris yang terindikasi merangkap jabatan? Inilah yang mencengangkan bagi sebagian orang, tapi bagi yang bekerja di BUMN sudah hal biasa. Masih bersumber dari Ombudsman, pada tahun 2019, tercatat 397 komisaris BUMN yang terindikasi merangkap jabatan dan hal yang sama untuk 167 komisaris di anak perusahaan BUMN.

Dari 397 orang tersebut, jika dirinci 254 di antaranya berasal dari kementerian, 112 orang dari lembaga non kementerian dan dari kalangan akademisi 31 orang. Adapun yang berasal dari kementerian, didominasi oleh Kementerian BUMN sebanyak 55 orang dan Kementerian Keuangan 42 orang.

Nah, sekarang bagaimana sebaiknya? Memang ada keuntungan juga bagi perusahaan BUMN yang komisarisnya berasal dari orang kementerian. Hubungan baiknya dengan pemerintah relatif terpelihara sehingga sejumlah proyek pemerintah pun bisa didapat oleh BUMN tersebut.

Masalahnya adalah ketidakefisienan karena faktor honorarium dan tantiem yang relatif besar, serta waktu si komisaris yang sangat terbatas sehingga tidak maksimal menjalankan perannya sebagai pengawas. Inilah yang perlu dicarikan solusinya.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun