Cukup tajam tulisan yang diangkat majalah Tempo pada rubrik Opini, edisi 14 Â Juni 2020. Â Yang disoroti adalah penggelontoran dana talangan kepada lima BUMN yang bersumber dari anggaran negara, yang nota bene adalah uang rakyat melalui pajak yang ditarik pemerintah.
Tempo menyebutkan pengalokasian dana talangan tersebut sebagai tindakan yang serampangan. Alih-alih memulihkan perekonomian nasional yang terpukul oleh pandemi Covid-19, anggaran baru sebesar Rp 19,65 triliun yang akan dialokasikan tersebut bukan tidak mungkin bakal merugikan negara.
Barangkali disebutkan bakal merugikan, bila nantinya BUMN yang menerima dana talangan tidak mampu mengembalikannya ke kas negara. Mungkin saja biar terkesan tidak rugi, dana talangan akan diganti statusnya sebagai tambahan penyertaan modal negara di masing-masing perusahaan.
Bila statusnya sebagai penyertaan modal, tidak ada kewajiban mengembalikan oleh perusahaan penerima. Tapi kalau perusahaan memperoleh laba, akan ada setoran dividen (bagian laba tahunan yang dibagikan kepada pemegang saham) ke kas negara.
Adapun 5 perusahaan pelat merah yang akan dibantu pemerintah melalui mekanisme dana talangan itu, yakni Garuda Indonesia, Perkebunan Nusantara, Kereta Api Indonesia, Krakatau Steel, dan Perum Perumnas.
Sebetulnya jika menyimak berita di media massa, sebagian BUMN di atas sudah dirundung masalah sebelum ada pamdemi. Maka bila pandemi dijadikan satu-satunya alasan, tentu tidak sepenuhnya tepat.
Majalah Tempo mencontohkan apa yang dinilainya sebagai serampangan, yakni talangan sebesar Rp 4 triliun kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Dalih pemerintah bahwa program ini diperlukan untuk membantu arus kas perseroan yang jeblok akibat pandemi Covid-19, jelas tak beralasan karena sebelumnya perusahaan ini sudah remuk.
Apakah istilah "remuk" terlalu berlebihan? Tergantung sudut pandang masing-masing. Bila pemerintah berani mengucurkan dana talangan, tentu dengan keyakinan bahwa perusahaan yang merupakan holding dari beberapa perusahan perkebunan milik negara itu, masih bisa diselamatkan.
Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat kerja dengan Komisi V DRR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, menjelaskan bahwa PTPN mempunyai total utang Rp 48 triliun. Lalu untuk menjaga cash flow-nya, pemerintah memberikan dana talangan Rp 4 triliun yang bersifat pinjaman dengan bunga satu persen (medcom.id, 9/6/2020).
Itu baru tentang PTPN. Silakan berselancar di dunia maya apa masalah yang dihadapi Garuda Indonesia. Sebelum pandemi saja, kinerja keuangan Garuda sempat dihebohkan karena yang harusnya menderita kerugian, disulap jadi seolah-olah menghasilkan laba. Itu untuk laporan keuangan tahun buku 2018 yang dipublikasikan pada tahun 2019.
Kemudian datanglah pandemi yang memukul dunia usaha dan sektor pariwisata yang paling terpukul. Tentu perusahaan transportasi seperti Garuda dan Kereta Api, jadi sangat terpuruk dengan sangat minimnya penumpang.
Maka pertanyaan apakah dana talangan akan efektif, layak untuk dikaji. Ibarat orang yang lagi sakit, tentu membutuhkan obat. Masalahnya agar obat tersebut efektif, jenis penyakitnya harus didiagnosa dengan tepat. Kemudian takaran dan frekuensi obatnya harus pas. Pemberian obat yang serampangan, tidak saja menjadi mubazir, malah bisa mendatangkan malapetaka.
Yang lebih dikahwatirkan adalah bila ada oknum yang bermain memanfaatkan kesempatan, sehingga tujuan baik pemerintah akan ternoda. Makanya aspek tata kelola yang baik dengan mematuhi semua ketentuan dan diawasi secara ketat, menjadi mutlak atas pengucuran dana talangan tersebut sampai nanti dikembalikan lagi ke kas negara.
Alasan untuk membantu cash flow (arus kas), juga perlu dikritisi. Sebuah perusahaan membutuhkan kas, bisa untuk keperluan operasional sehari-hari yang bersifat rutin atau untuk membeli sesuatu yang bisa digunakan untuk jangka panjang yang dalam terminologi akuntansi disebut dengan aktiva tetap.Â
Contoh yang bersifat rutin adalah membeli barang baik berupa bahan baku yang akan diolah atau barang jadi yang akan dijual lagi, pembayaran gaji karyawan, pembayaran atas pemakaian listrik, air, telepon, bahan bakar, dan sebagainya. Sekiranya dana talangan digunakan untuk hal yang rutin seperti  contoh itu tadi, sementara pendapatan perusahaan tidak kunjung membaik, alamat dana talangan akan tenggelam.
Sedangkan penggunaan kas untuk pengadaan aktiva tetap misalnya untuk membangun atau memperbaiki gedung kantor, gudang, atau show room. Demikian juga untuk pembelian mesin atau kendaraan operasional. Termasuk pula di sini pembelian aktiva tidak berwujud (intangible asset) yang membuat perusahaan memiliki hak tertentu berjangka panjang seperti hak cipta, hak eksplorasi dan eksploitasi, dan sebagainya.
Mudah-mudahan Kementerian Keuangan sudah meneliti dengan cermat sebelum memutuskan memberi lima BUMN di atas dana talangan. Artinya, untuk apa dana tersebut sudah dijelaskan dalam proposal ke kementerian, termasuk analisisnya yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk mengembalikan dana tersebut nantinya.
Dengan demikian pihak Kementerian BUMN diharapkan bisa membuktikan bahwa keputusan yang diambilnya bukan tindakan yang serampangan. Apalagi bila penggunaan dana tersebut oleh masing-masing BUMN penerima diawasi secara ketat oleh kementerian dan dikawal sampai semua perusahaan melunasi utangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H