Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Istirahatlah Kata-kata" dan Masihkah Ada Puisi yang Menyuarakan Kritik Sosial?

19 Juni 2020   08:45 Diperbarui: 19 Juni 2020   18:38 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ebooks.gramedia.com

Saya merasa beruntung kebetulan sempat menonton film Istirahatlah Kata-kata melalui layar kaca. Kenapa saya sebut beruntung? Karena film ini ditayangkan oleh TVRI, padahal saya jarang mengikuti siaran stasiun televisi yang tertua di tanah air ini.

Maka pada Selasa (16/6/2020) malam, saya dengan antusias menyimak film tersebut, seakan melampiaskan kekecewaan saya karena saat diputar di bioskop, saya tak sempat menonton.

Ketika itu, sekitar pertengahan Januari 2017, Istirahatlah Kata-kata ditayangkan di jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Tapi mungkin karena dinilai kurang komersial, pihak bioskop hanya menyediakan sedikit layar, itupun selama beberapa hari saja.

Bisa jadi karena gagal menjaring penonton sejumlah minimal yang dipersyaratkan manajemen bioskop, maka nasibnya mirip dengan film-film nasional bertema idealis lainnya, yakni jeblok di pasaran. Jadi ketika saya ingin menonton, ternyata sudah tidak diputar lagi.

Film yang disutradarai oleh Yosep Anggi Noen ini berkisah tentang kehidupan seorang Wiji Thukul, khususnya dalam masa pelariannya ke Pontianak tahun 1996.

Siapa Wiji Thukul dan kenapa harus lari, tentu sudah banyak yang tahu. Ia adalah seorang penyair sekaligus aktivis kelahiran Solo, Jawa Tengah yang gencar melawan penindasan rezim Orde Baru yang akhirnya hilang tanpa diketahui keberadaannya, hingga kini tetap misterius.

Thukul yang anak seorang penarik becak itu mulai menulis puisi sejak duduk di bangku SD, kemudian saat di SMP tertarik pada dunia teater. Bersama kelompok Teater Jagat, ia ngamen membacakan puisi keluar masuk kampung dan kota.

Bukan puisi cinta remaja yang disuarakannya, tapi berupa protes terhadap penindasan yang dilakukan penguasa ketika itu. Menyuarakan aspirasi kaum buruh dan mereka yang terlindas derap pembangunan, dan menggaungkan tuntutan untuk terciptanya kondisi yang lebih demokratis.

Tapi sepanjang film berdurasi sekitar 90 menit itu, tidak tergambar kegarangan atau kegeraman seorang Wiji Thukul. Tadinya saya berharap meskipun bercerita tentang pelariannya, namun akan diselingi adegan kilas balik penyair jalanan itu sebagai seorang aktivis sosial.

Gambar di layar sering menampilkan warna gelap, membuat film ini dari awal terkesan mencekam. Alur cerita dan dialog berlangsung lamban, mungkin karena dalam konteks persembunyian seorang buronan. Bagi saya, awalnya agak sulit untuk memahami dan baru bisa menikamti setelah sambil browsing membaca kisah hidup Thukul.

Istirahat Kata-kata itu sendiri juga merupakan judul dari puisi karya Wiji Tukul yang dibacakan di bagian awal film. Sepanjang film, masih banyak puisi lain yang dilantunkan. Berikut ini puisi utama di film ini: "Istirahatlah kata-kata/jangan menyembur-nyembur/orang-orang bisu/tidurlah kata-kata/kita bangkit nanti/menghimpun tuntutan-tuntutan/yang miskin papa dan dihancurkan".

Meskipun cenderung berlatar belakang warna gelap, saya menyukai gambaran suasana di sebuah perkampungan kelas bawah di pinggir Sungai Kapuas sebagai setting film. Rumah kontrakan amat sederhana, gang kampung, warung kopi, tukang cukur rambut, dan ditingkahi ekspresi ketakutan diintai intel, tersaji dengan baik.

Dari referensi yang saya baca, Wiji Thukul menjadi buronan setelah terjadi peristiwa kudatuli (kerusuhan pada 27 Juli 1996, penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, dan akhirnya memunculkan dualisme di tubuh partai ini serta pecah dua, PDI dan PDI Perjuangan). Lelaki kelahiran 23 Agustus 1963 ini, menurut laman Wikipedia, menghilang sejak 23 Juli 1998.

Artinya, tumbangnya Pak Harto dan sudah 22 tahun reformasi bergulir menghasilkan beberapa kali pergantian presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, ternyata belum mampu melacak misteri ini. Dan juga misteri sejumlah aktivis yang bernasib serupa.

Meskipun jeblok di pasaran, film ini meraih sejumlah penghargaan pada festival film di dalam dan di luar negeri. Dibintangi Gunawan Maryanto sebagai Wiji Thukul (Gunawan ini juga seorang penyair) dan Marissa Anita sebagai Sipon, istri  Wiji Thukul. Selain itu juga ada Melanie Subono, Eduwart Boang, Arswendy Nasution, dan Davy Yunan.

Saya jadi teringat dengan kiprah para penyair di era Orde Baru. Yang paling top tentu  saja almarhum WS Rendra, yang sangat produktif melahirkan puisi-puisi bernada protes atau kritik sosial. Tak begitu sulit bagi saya yang waktu itu masih sekolah dalam menikmati dan memahami puisi Rendra.

Sekarang ini, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, atau yang lebih ngepop Aan Mansyur, dinilai sebagai penyair papan atas negeri ini. Namun, mudah-mudahan saya keliru, para penyair ini sangat kuat dalam memilih kata-kata yang indah, tapi unsur kritik sosialnya relatif rendah ketimbang penyair era Orde Baru.

Bisa jadi sejak era reformasi dimulai, kebebasan pers relatif membaik. Media sosial penuh perang kata-kata antara cebong dan kampret. Demonstrasi pun  menjadi hal yang biasa. Itukah yang membuat puisi bergenre protes kepada penguasa atau kritik sosial jadi tidak mendapat tempat lagi? Atau karena penyairnya sengaja tidak memilih menulis itu? 

Kembali ke film Istirahatkah Kata-kata, saya terhanyut pada bagian penutupnya. Istri Thukul sambil menangis berkata pada suaminya yang berhasil menyusup diam-diam masuk rumahnya sendiri.

Berdasarkan ingatan saya akan terjemahan dari kata si istri dalam bahasa Jawa yang muncul sebagai teks di layar bagian bawah, beginilah kata-kata si istri: "Aku tak ingin kau pergi, tapi aku juga tak ingin kau pulang, aku hanya ingin kau ada." Tentu saja ini dalam konteks ketakutan si istri bila keberadaan suaminya tercium oleh aparat dan lantas diciduk.

Sekarang apakah Wiji Thukul masih ada? Tak ada yang tahu. Yang pasti, puisi-puisinya menjadi warisan sejarah yang berharga, dan ikut berkontribusi dalam gerakan reformasi. Sayangnya, reformasi itu sendiri, masih perlu "direformasi" lagi, agar sesuai dengan tuntutan masyarakat banyak.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun