Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tak Ada Pertentangan Antara Prioritas Ekonomi dan Kesehatan

10 Juni 2020   00:07 Diperbarui: 10 Juni 2020   00:09 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam tulisannya di harian Kompas (8/6/2020), ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan, Muhamad Chatib Basri, mengangkat isu bahwa sekarang ini ada kesan terjadi pertentangan antara prioritas ekonomi dan kesehatan dalam kaitannya dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam penanganan pencegahan pandemi Covid-19.

Namun Chatib Basri dengan tegas menyatakan tidak melihatnya seperti itu. Ia menulis bahwa ekonomi hanya akan pulih bila wabah teratasi. Maka jelaslah prioritas utama adalah untuk masalah kesehatan, dan itu bersifat mutlak, makanya tidak berguna diperdebatkan. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun berpendapat sama.  Di akun Instagram miliknya, Sri Mulyani pernah mengajak warganet untuk  jangan pernah berkompromi terhadap urusan kesehatan.

Lebih lanjut Chatib Basri menguraikan bahwa kalaupun kantor dan pabrik kembali dibuka, sehingga produksi barang dan jasa akan bergairah lagi, akan menghadapi masalah daya beli masyarakat yang masih lemah.

Memang bagi masyarakat kelas menengah ke atas, mereka masih punya tabungan yang memadai dan masih punya daya beli. Tapi kelompok ini pula yang paling khawatir dalam melakukan interaksi sosial, sehingga mereka memilih berbelanja secara daring. 

Untuk barang-barang yang sulit dipesan secara daring, mereka lebih memilih menunda berbelanja. Termasuk dalam keinginan berwisata, sesuatu yang rutin menjadi kebutuhan kelompok ini sebelum ada pandemi, sekarang belum berani mereka lakukan lagi.

Makanya jangan heran kalau pasar tradisional, dibolehkan atau tidak, akan lebih dulu beroperasi ketimbang mal-mal mewah. Termasuk pula di sini pasar yang menyediakan barang tertentu seperti tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ketika bulan puasa lalu, sebetulnya pasar ini belum boleh dibuka, namun banyak pedagang yang nekad berjualan dan terpaksa main kucing-kucingan dengan petugas.

Bukankah para pedagangnya sudah lagi tidak memegang uang, sementara sebagian masyarakat kelas bawah terbantu daya belinya setelah menerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah atau dari perusahaan yang mempunyai program corporate social responsibility.

Masalahnya, justru di pasar tradisional pula yang paling rentan terjadinya penularan virus corona yang telah terbukti terjadi di sejumlah kota. Masyarakat kelas menengah ke bawah, baik para pedagangnya, maupun para konsumennya, sering abai dengan protokol kesehatan. Mengandalkan petugas untuk selalu mengawasi, tidak akan pernah cukup, mengingat terbatasnya jumlah pertugas.

Lalu, haruskah bansos ditunda dulu?  Kalau ini ditunda, akan lebih parah lagi, karena dari sejumlah kebijakan  yang diambil pemerintah, inilah yang paling "nendang" karena betul-betul menambah daya beli masyarakat  kelas bawah. Bila tidak ada bansos, bisa jadi korban nyawa yang kelaparan akan bersaing dengan korban nyawa karena Covid-19.

Banyak sekali program stimulus ekonomi yang dilakukan pemerintah dengan anggaran paling tidak puluhan triliun rupiah. Penurunan suku bunga bank, relaksasi kredit perbankan, atau suntikan dana segar ke sejumlah perusahaan milik negara, hanya melihat dari sisi bagaimana meningkatkan investasi yang pada gilirannya akan menggenjot sisi produksi barang dan jasa.

Pertanyaannya kembali lagi, investasi yang dirangsang pemerintah di atas terancam mubazir bila tidak ditopang oleh sisi konsumsi berupa peningkatan daya beli masyarakat. Produksi yang tidak terserap malah akan memperbesar kerugian.

Jadi, menyikapi mulai macetnya kembali jalanan di ibu kota, pertanda masa transisi yang tengah berjalan dimaknai oleh masyarakat untuk bebas beraktivitas di luar rumah, perlu dicamkan bukan berarti tidak memprioritaskan kesehatan. Kesehatan tetaplah menjadi nomor satu, dengan mematuhi protokol kesehatan.

Kemudian, program bansos tetap harus berlanjut, justru perlu diperbaiki lagi, agar memiliki data yang lebih valid, sehingga yang menerima bansos betul-betul yang layak mendapatkannya. Jangan lagi mereka yang sangat layak dibantu, tidak mendapat apa-apa, tapi ada warga yang berpunya, malah dapat bansos.

Penting pula kiranya menggugah kesadaran masyarakat secara terus menerus dengan memanfaatkan semua jenis dan teknik komunikasi. Tidak harus bersifat searah dari pemerintah ke masyarakat, namun akan lebih efektif bila didukung pula oleh komunikasi antar warga itu sendiri, agar terkesan ini bukan untuk kepentingan pemerintah, melainkan demi kita semua.

Bahwa kelonggaran yang sekarang terjadi dalam beraktivitas, jangan disambut masyarakat dengan euforia. Jangan seperti melepaskan dendam setelah beberapa bulan terkurung.

Seperti disinggung di atas, mengharapkan adanya pengawasan dari pihak kepolisian, Satpol PP, atau aparat lainnya, tidak akan pernah cukup. Tapi bila semua warga berdisiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, contohnya selalu menggunakan masker dan menjaga jarak dengan orang lain, maka kita optimis badai Covid-19 ini akan segera berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun