Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jangan Lagi Hubungkan Sepak Bola dengan Jumlah Penduduk

16 Juni 2020   10:10 Diperbarui: 16 Juni 2020   20:38 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Egy Maulana Vikri tampil membela timnas U-19 Indonesia saat berhadapan dengan Malaysia pada semifinal Piala AFF U-19 2018 di Sidoarjo, 12 Juli 2018. (BOLASPORT.com/SUCI RAHAYU)

"Dari 250 juta penduduk, masa tidak ada sebelas orang pemain sepak bola hebat?" 

Sering bukan kita mendengar pertanyaan seperti itu? Ada yang diucapkan sebagai bentuk ketidaktahuan, ada pula sebagai sindiran, khususnya ditujukan pada pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Boleh-boleh saja jika ucapan tersebut sebagai pemacu semangat kerja bagi pengurus PSSI atau pihak lain yang terlibat dalam persepakbolaan di tanah air. Namun bila diucapkan dalam konteks yang lebih formal, sebetulnya hingga saat ini data statistik menyimpulkan bahwa memang belum terdapat korelasi antara jumlah penduduk dari suatu negara dengan prestasinya di bidang olahraga paling populer itu.

Itulah yang baru-baru ini diucapkan oleh Ratu Tisha, mantan Sekjen PSSI yang belum lama mengundurkan diri. Seperti yang dilansir dari kompas.com (6/6/2020), Ratu mengungkapkan talenta pemain sepak bola Indonesia tidak sebesar yang dikira masyarakat. Hanya segelintir yang punya kelayakan untuk berkiprah sebagai pemain sepak bola profesional.

Kita tidak berbicara dari himpunan 250 juta orang, karena himpunan database yang dipunyai Ratu Tisha sendiri yang memang menggeluti statistik sepak bola, pemain elite muda usia yang terdaftar terakhir itu hanya di angka 10.500 orang saja. "Jadi, kita bicara dari himpunan yang sangat sedikit," ujar Ratu.

Betul, kalau kita melihat negara Asia yang padat penduduk seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, mungkin hanya China yang lumayan prestasinya, tapi masih di bawah Jepang, Korea Selatan atau Iran dalam bersaing sebagai juara Asia.

Sedangkan yang lain relatif berimbang dengan Indonesia. Di lain pihak untuk level Asia Tenggara, kita sering disaingi oleh negara berpenduduk 5 juta orang seperti Singapura.

Namun demikian, ada anggapan umum masyarakat kita, bahwa di tingkat usia remaja, prestasi pemain kita terbilang lumayan. Hanya saja begitu menginjak dewasa, pemain yang menonjol saat remaja, sudah kehilangan sinarnya saat bertanding dengan timnas negara lain.

Nah, agaknya harapan masyarakat tersebutlah yang ingin diluruskan Ratu dengan mengatakan talenta kita tidak sebesar yang diduga.

Ratu Tisha (inews.id)
Ratu Tisha (inews.id)
Bila kita realistis, tampaknya pernyataan Ratu Tisha dapat diterima. Tapi kalau bertanya ke seorang Indra Sjafri, pelatih bertangan dingin yang beberapa kali sukses melatih timnas remaja Indonesia, mungkin akan dapat jawaban berbeda.

Dengan mengartikan talenta sebagai bakat alam, maka Indra telah membuktikan dari hasil blusukannya ke berbagai pelosok tanah air, ia berhasil menemukan sejumlah pemain remaja potensial. 

Jika tidak didatangi Indra, dan hanya berharap akan muncul para pemain berbakat dari kompetisi remaja, berkemungkinan besar beberapa pemain yang ditemukan Indra tidak akan muncul ke permukaan. Karena klub-klub yang punya pemain remaja hanya menjaring dari sekolah sepak bola yang diikuti oleh mereka yang mampu membayar.

Nah, masalahnya, ternyata bakat alam saja plus polesan seorang pelatih, katakanlah Indra Sjafri dan Fakhri Husaini yang telah membuktikan kapabilitasnya, belum cukup untuk membentuk sebuah timnas senior yang tangguh.

Bisa jadi memang kemampuan pelatih lokal untuk mengembangkan pemain telah mentok. Tapi seorang Luis Milla, pelatih yang sukses mengantarkan timnas U-23 Spanyol menjadi juara Eropa, juga belum mampu mengangkat prestasi timnas U-23 kita.

Bisa jadi pula sikap pemain remaja yang terlena karena dipuji media massa ketika menjadi bintang di timnas U-16 dan U-19, menjadi problem tersendiri. Dalam usia yang masih labil dihujani berbagai penghargaan dan juga menerima hadiah berupa materi, mungkin membuat mereka cepat berpuas diri.

Masih banyak hal yang perlu diteliti dan dicarikan solusinya, bagaimana caranya agar prestasi sepak bola kita bisa meningkat, terutama bila sudah naik ke level senior.

Tak usah jauh-jauh, sekadar juara  Asia Tenggara saja, sudah lumayan. Bukankah November tahun ini, kalau tidak ada penundaan jadwal, akan digelar turnamen Piala AFF, yang belum sekalipun dijuarai Indonesia?

Padahal turnamen paling bergengsi di Asia Tenggara itu telah digelar sejak tahun 1996 yang diselenggarakan setiap dua tahun. Sejauh ini baru 4 negara yang pernah sukses memuncakinya, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Prestasi terbaik Indonesia hanya sampai menjadi juara 2 sebanyak lima kali.

Tapi, satu hal perlu kita sepakati, kalaupun sepak bola kita masih begitu-begitu saja, tolong jangan hubungkan dengan jumlah penduduk yang 250 juta jiwa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun