Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Protokol Kesehatan Belum Jalan, Salat Jumat Jadi Deg-degan

6 Juni 2020   00:01 Diperbarui: 6 Juni 2020   00:04 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini Jumat (5/6/2020) hari pertama dibolehkannya lagi masjid-masjid di wilayah DKI Jakarta melaksanakan kegiatan salat Jumat, dengan catatan harus mengikuti protokol kesehatan. Tentu hal ini saya sambut dengan antusias meskipun tetap waspada.

Ada rasa haru ketika saya masuk gerbang masjid yang berlokasi beberapa gang saja dari rumah saya, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Bukan apa-apa, barangkali sebagai tanda kerinduan saja setelah sekitar dua bulan saya mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur di rumah, karena memenuhi ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sebetulnya saya ingin salat Jumat di masjid yang agak jauh dari rumah saya karena ukuran masjidnya lebih besar, ada lapangan luas untuk olahraga di halamannya yang biasa digunakan juga untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha. 

Masjid tersebut juga lebih makmur dilihat dari jumlah kas sumbangan para jamaah. Tentu tidak sulit bagi pengurusnya untuk membeli alat pendeteksi suhu tubuh, cairan pembersih tangan, cairan disinfektan, dan sebagainya yang diperlukan untuk mematuhi protokol kesehatan.

Hanya saja karena saya ingin juga bertemu dengan teman-teman yang sudah jarang saya lihat wajahnya, saya memilih ke masjid dekat rumah itu tadi. Masjid ini sebelum PSBB biasanya tempat saya melakukan salat berjamaah lima waktu setiap hari, sehingga saya sudah hafal dengan wajah jamaah tetapnya, yang sebagian sering juga terlibat ngobrol dengan saya.

Benar saja. Yang saya khawatirkan bahwa masjid ini secara manajemen belum sebagus masjid yang lain, terbukti demikian adanya. Masjid ini hanya diurus oleh keluarga tertentu yang dulunya merintis pembangunan masjid, meskipun kemudian direnovasi dengan uang infak jamaah. 

Padahal saya baca di media massa, ada banyak yang harus disiapkan pengurus masjid dalam menyelenggarakan salat Jumat dalam masa pandemi Covid-19 ini.

Tidak ada petugas yang bersiap di depan gerbang untuk mengukur suhu tubuh jamaah seperti yang saya lihat di masjid lain yang diliput oleh stasiun televisi. Tak ada juga cairan pembersih tangan untuk digunakan jamaah. Jangan-jangan juga bagian dalam dan luar masjid belum disemprot dengan disinfektan sebelum memulai kegiatan ibadah.

Yang saya lihat bedanya dengan yang dulu, sekarang tidak ada karpet. Lalu di lantai diberi garis horizontal pembatas barisan. Ada juga tanda silang setiap jarak tertentu, sebagai tanda tidak bisa diduduki oleh jamaah. Hanya karena ketiadaan petugas, saya tidak yakin area yang kosong akan betul-betul kosong. Sebagian jamaah saya lihat tidak menggunakan masker dan tidak membawa sajadah.

Bukankah kalau ada petugas di pintu gerbang, yang tidak memakai masker bisa diminta kembali pulang? Jamaah lain tidak berani menegur, dan mungkin akan deg-degan kalau bersebelahan duduknya dengan yang tidak pakai masker.

Ketentuan menjaga jarak yang awalnya berjalan lumayan baik, akhirnya berantakan juga. Jamaah yang datang agak belakangan enak saja mengisi bagian yang harus dikosongkan. Saya pun mulai deg-degan. Kemudian kotak amal mulai dijalankan secara estafet dari satu jamaah ke jamaah lain.

Saya yang duduk di baris ketiga, tentu saat menerima kotak amal, memegang bagian yang sebelumnya telah dipegang oleh puluhan orang yang lebih awal mendapat sodoran kotak tersebut. 

Sebetulnya saya membawa hand sanitizer ukuran kecil di saku celana, tapi saya tidak menggunakannya, dan hanya mengingat-ingat agar tangan saya tidak menyentuh bagian wajah. Begitu pulang ke rumah, hal pertama yang saya lakukan adalah mencuci tangan dengan sabun.

Ketika khutbah sudah selesai dan hendak melaksanakan salat, tak bisa lagi ditahan, banyak jamaah yang memaksa masuk di tempat yang harus kosong, sehingga jarak antar jamaah menurut perkiraan saya hanya tersisa sekitar 15-20 cm. Saya bersyukur yang di sebelah kiri dan kanan saya, semuanya pakai masker, seperti halnya saya. 

Saya teringat ketika masih salat berjamaah di pertengahan Maret, padahal ketika itu sudah mulai ada kebijakan social distancing, tapi belum tahap PSBB. Betapa parnonya saya ketika jamaah di sebelah saya sering batuk dan juga pilek, ia mengusap wajah sambil salat, eh, kemudian sehabis salat malah menyalami saya. 

Tak mungkin saya tolak uluran tangannya. Tapi akibatnya saya tidak khusuk berdoa, buru-buru pulang ke rumah untuk mencuci tangan dengan sabun. Ada lagi yang saya kurang nyaman, beberapa orang menafsirkan merapatkan barisan salat berjamaah dengan harus bersentuhan antar jari kaki. Saya beberapa kali menggeser kaki saya, tapi tetap dikejar oleh jamaah di sebelah, dan akhirnya saya ikhlaskan saja.

Mungkin memang seperti itu cara salat berjamaah yang benar, saling bersentuhan. Pengetahuan saya masih terbatas dalam hal ini. Untunglah di masa PSBB ini tak ada lagi jamaah yang jari kakinya menyentuh jari kaki saya.

Ketika keluar masjid seusai Jumatan, ada tetangga saya yang bertanya kenapa saya sudah lama tidak ikut Jumatan? Ia menjelaskan bahwa masjid dekat rumah saya itu selalu menyelengarakan salat Jumat, tapi tidak menggunakan pengeras suara, sehingga saya menduga pengurus masjid meniadakan salat Jumat.

Ya saya menjawab, bahwa saya mematuhi kebijakan pemerintah. Ketika masyarakat diminta beribadah di rumah, saya patuh. Sekarang sudah boleh lagi Jumatan, saya pun patuh.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun