Hari ini Jumat (5/6/2020) hari pertama dibolehkannya lagi masjid-masjid di wilayah DKI Jakarta melaksanakan kegiatan salat Jumat, dengan catatan harus mengikuti protokol kesehatan. Tentu hal ini saya sambut dengan antusias meskipun tetap waspada.
Ada rasa haru ketika saya masuk gerbang masjid yang berlokasi beberapa gang saja dari rumah saya, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Bukan apa-apa, barangkali sebagai tanda kerinduan saja setelah sekitar dua bulan saya mengganti salat Jumat dengan salat Zuhur di rumah, karena memenuhi ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Sebetulnya saya ingin salat Jumat di masjid yang agak jauh dari rumah saya karena ukuran masjidnya lebih besar, ada lapangan luas untuk olahraga di halamannya yang biasa digunakan juga untuk salat Idul Fitri dan Idul Adha.Â
Masjid tersebut juga lebih makmur dilihat dari jumlah kas sumbangan para jamaah. Tentu tidak sulit bagi pengurusnya untuk membeli alat pendeteksi suhu tubuh, cairan pembersih tangan, cairan disinfektan, dan sebagainya yang diperlukan untuk mematuhi protokol kesehatan.
Hanya saja karena saya ingin juga bertemu dengan teman-teman yang sudah jarang saya lihat wajahnya, saya memilih ke masjid dekat rumah itu tadi. Masjid ini sebelum PSBB biasanya tempat saya melakukan salat berjamaah lima waktu setiap hari, sehingga saya sudah hafal dengan wajah jamaah tetapnya, yang sebagian sering juga terlibat ngobrol dengan saya.
Benar saja. Yang saya khawatirkan bahwa masjid ini secara manajemen belum sebagus masjid yang lain, terbukti demikian adanya. Masjid ini hanya diurus oleh keluarga tertentu yang dulunya merintis pembangunan masjid, meskipun kemudian direnovasi dengan uang infak jamaah.Â
Padahal saya baca di media massa, ada banyak yang harus disiapkan pengurus masjid dalam menyelenggarakan salat Jumat dalam masa pandemi Covid-19 ini.
Tidak ada petugas yang bersiap di depan gerbang untuk mengukur suhu tubuh jamaah seperti yang saya lihat di masjid lain yang diliput oleh stasiun televisi. Tak ada juga cairan pembersih tangan untuk digunakan jamaah. Jangan-jangan juga bagian dalam dan luar masjid belum disemprot dengan disinfektan sebelum memulai kegiatan ibadah.
Yang saya lihat bedanya dengan yang dulu, sekarang tidak ada karpet. Lalu di lantai diberi garis horizontal pembatas barisan. Ada juga tanda silang setiap jarak tertentu, sebagai tanda tidak bisa diduduki oleh jamaah. Hanya karena ketiadaan petugas, saya tidak yakin area yang kosong akan betul-betul kosong. Sebagian jamaah saya lihat tidak menggunakan masker dan tidak membawa sajadah.
Bukankah kalau ada petugas di pintu gerbang, yang tidak memakai masker bisa diminta kembali pulang? Jamaah lain tidak berani menegur, dan mungkin akan deg-degan kalau bersebelahan duduknya dengan yang tidak pakai masker.
Ketentuan menjaga jarak yang awalnya berjalan lumayan baik, akhirnya berantakan juga. Jamaah yang datang agak belakangan enak saja mengisi bagian yang harus dikosongkan. Saya pun mulai deg-degan. Kemudian kotak amal mulai dijalankan secara estafet dari satu jamaah ke jamaah lain.