Unit MR pula sebagai pertahanan lapis kedua yang bertugas memantau pengelolaan risiko, memetakan risiko dan memberikan peringatan kepasa semua unit bisnis secara berkala, tentang risiko yang berpotensi akan muncul pada masa mendatang.Â
Artinya, sifat dari pertahanan lapis kedua ini adalah prediktif. Berbeda dengan lini ketiga yang bertugas untuk "menangkap" orang yang bersalah setelah terjadi sesuatu.Â
Jadi, antara lapis kedua dan ketiga harus saling melengkapi. Yang satu mengatakan "harus hati-hati", yang lain menangkap mereka yang masih saja melanggar meskipun sudah diperingatkan.
Nah, terhadap pentingnya suatu audit yang independen, tak perlu diragukan lagi. Namun, terhadap cara unit MR memberikan peringatan, inilah yang dirasakan sebagai terlalu teoritis dan tidak membumi. Rekomendasi yang diberikan unit MR biasanya bersifat normatif dan kurang aplikatif.
Masalahnya, banyak karyawan bank yang belum mempunyai  budaya sadar risiko yang memadai. Tugas-tugas terkait laporan MR, lebih dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan regulasi saja, karena hal ini diatur dan dipantau oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam hal ini, setiap bank wajib menyusun risk profile banknya setiap triwulan dengan metode self assessment dengan cara memberi skor terhadap berbagai parameter.Â
Skornya berupa angka 1 sebagai risiko paling rendah hingga 5 sebagai risiko tertinggi. Sering pula skor tersebut dihiasi simbol warna, dari hijau tua (skor 1), hijau muda (skor 2), kuning (3), oranye (4), dan merah (5).
Karena profil risiko tersebut harus dilaporkan ke OJK, sering bank dengan bangga memperlihatkan rapornya yang hijau muda, dalam arti secara overall punya skor 2 (dengan risiko low to moderate).Â
Padahal bila ditelusuri dari temuan auditor, baik dari audit internal sebagai pertahanan lapis ketiga, maupun dari audit yang dilakukan oleh pihak eksternal, rapor hijau tersebut tidak sinkron.
Temuan audit tersebut tidak saja yang bersifat klasik seperti kolusi dalam pengucuran kredit yang berakibat membengkaknya kredit macet, tapi juga yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Banyak pengaduan di mana nasabah merasa tidak bertransaksi, tapi saldo rekeningnya terdebet alias berkurang.
Jangan lupa, publik sendiri bisa mengikuti dari media massa, betapa masih sering terjadi berbagai kasus di banyak bank. Sebuah bank milik negara di kantor cabangnya di Ambon, sebagai misal, pada akhir tahun lalu dihebohkan dengan kasus pembobolan dana nasabah sejumlah lebih dari Rp 50 miliar. Ironisnya, pelakunya adalah pejabat di kantor cabang itu sendiri.