Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mekanisme Bantuan Bank Jangkar, Apakah Ini "Kawin Paksa" Antar Bank?

4 Juni 2020   00:07 Diperbarui: 4 Juni 2020   10:44 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Indonesia Building in Jakarta. (ANTARA/Puspa Perwitasari)

Apa yang terpikir bila kita mendengar istilah kawin paksa? Apakah sekarang ini masih ada orang tua yang memaksa anak gadisnya untuk dinikahi lelaki tua yang kaya ala novel Siti Nurbaya? Mungkin masih ada, tapi jelas sudah jauh berkurang ketimbang yang terjadi di era jadul.

Tapi yang akan dipaparkan di tulisan ini, meskipun disebut sebagai kawin paksa, sama sekali tidak ada kaitan dengan asmara atau pernikahan antar seorang pria dan wanita. 

Tulisan ini membahas topik konsolidasi perbankan nasional, khususnya karena diprediksi bakal ada sejumlah bank yang sempoyongan dihantam dampak pandemi Covid-19. 

Dihantui oleh bayangan krisis moneter 1998, agar tidak terulang kembali, sekarang sudah ada koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rangka mengantisipasi terjadinya kesulitan likuiditas pada perbankan nasional secara umum.

Seperti dilansir dari kompas.id (23/5/2020), pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2020 mengenai Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

PP yang diundangkan pada 11 Mei 2020 itu, pada pasal 10 mengatur tentang penempatan dana untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan. 

Disebutkan pada artikel itu bahwa pemerintah akan menggelontorkan dana sekitar Rp 87,59 triliun untuk disalurkan sebagai kredit modal kerja baru kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang akan memulihkan usahanya.

Seperti diketahui, sebelum keluar PP tersebut, OJK telah memberikan relaksasi kepada UMKM dengan pinjaman di bawah Rp 10 miliar yang terdampak pandemi Covid-19, berupa penundaan pembayaran cicilan kredit selama setahun. 

Tentu akibatnya, aliran dana masuk bagi bank dari pengembalian pinjaman akan tersendat. Inilah yang berbuntut pada kesulitan likuiditas bagi bank yang rentetan berikutnya bank tidak bisa lagi menyalurkan kredit baru.

Makanya dana pemerintah akan digelontorkan, namun tidak langsung ke semua bank yang mengalami kesulitan likuiditas, barangkali agar tidak diboncengi morald hazard seperti yang dulu terjadi pada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis moneter 1998.

Adapun mekanisme penyalurannya saat ini adalah melalui bank jangkar, yakni 15 bank terbesar (tidak termasuk bank milik asing) yang berkategori sebagai bank sehat. 

Bank-bank besar yang masuk kriteria antara lain BRI, Mandiri, BCA, BNI, dan BTN. Bank jangkar akan menggunakan dana pemerintah untuk dirinya sendiri dan juga menyalurkannya sebagai kredit kepada bank-bank lain yang melakukan relaksasi.

Nah, penyaluran dana dengan skema bank jangkar ini sebenarnya dapat dijadikan momentum untuk mendorong percepatan konsolidasi perbankan. 

Bank-bank besar ibarat menjadi induk bagi bank-bank kecil. Istillah konsolidasi perbankan itu sendiri konotasinya adalah pengurangan jumlah bank, karena jumlah bank yang ada dinilai terlalu banyak dan tidak semuanya sehat.

Jumlah bank yang banyak pada gilirannya akan menyulitkan pihak OJK yang kewalahan melakukan audit atas masing-masing bank. OJK sendiri masih punya keterbatasan dari sisi kuantitas dan kualitas auditor. 

Di lain pihak OJK tak mau kecolongan, jangan sampai ada bank yang kelihatannya sehat-sehat saja, namun menyimpan bom waktu. Bom waktu tersebut, jika memang ada, bisa saja diledakkan memanfaatkan momentum adanya pandemi Covid-19 ini. 

Dengan demikian manajemen bank punya kambing hitam yang gampang disalahkan, padahal oknum bank diduga telah main mata dengan nasabah inti yang mengemplang kredit yang dikucurkan bank tersebut. Siapa tahu, kredit macet itu justru sebagian dipakai sendiri oleh oknum bank atau kerabatnya.

Sebelumnya sudah ada Perppu No 1 Tahun 2020 yang dikeluarkan 31 Maret 2020, yang mengembalikan fungsi BI sebagai lender of the last resort, fungsi yang dulunya lebih bertujuan untuk mengamankan sisi moneter, di mana BI memberikan bantuan likuiditas bagi bank yang bermasalah. Sekarang fungsinya ditambah dengan mengamankan sisi fiskal untuk membiayai defisit anggaran negara.

Caranya adalah BI diperbolehkan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana, sehingga pemerintah punya dana yang akan dipakai buat berbagai keperluan mendesak dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Tentu saja pengeluaran ini sebelumnya tidak dianggarkan pada anggaran belanja negara. 

Perppu dimaksud juga memberi kewenangan pada OJK untuk memaksa konsolidasi, baik berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) secara tertulis (kontan.co.id, 5/4/2020). 

LJK adalah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan seperti bank, asuransi, pegadaian, lembaga dana pensiun, multifinance, perusahaan sekuritas, dan sebagainya.

Dari uraian di atas, bila ingin disederhanakan, dalam kaitannya dengan bantuan untuk perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas, alurnya dimulai dari BI yang menutupi defisit anggaran pemerintah. Kemudian dari pemerintah mengucur ke bank jangkar, setelah itu baru dari bank jangkar ke masing-masing bank yang mengalami kesulitan karena merelaksasi kredit bagi UMKM.

Titik kritisnya adalah, seandainya bank yang sempoyongan, tetap tidak mampu berdiri kokoh meskipun sudah disuntik bantuan, inilah yang nantinya berkemungkinan besar akan dipaksa kawin berdasarkan kewenangan yang dimiliki OJK. Tentu bank jangkar menjadi bank yang diharapkan menjadi penyelamat.

Perlu diingat, sebelum bank jangkar mengucurkan bantuan, bank jangkar melakukan penilaian terlebih dahulu, sehingga dengan demikian bank jangkar sudah tahu "isi perut" bank yang akan dibantu. Jadi, kalau nanti berlanjut ke kawin paksa, bank jangkar sudah tidak membeli kucing dalam karung lagi.

Di satu sisi, kalau memang terjadi kawin paksa, ada hal positif, konsolidasi perbankan nasional akan berjalan lebih cepat. Bank yang jadi sasaran untuk dikonsolidasi, tidak punya pilihan lain, kecuali kalau mau mati (ditutup).

Tapi di sisi lain, semakin mempertegas betapa sangat timpangnya struktur perbankan nasional, di mana bank-bank papan atas yang diwakili oleh bank-bank jangkar itu, semakin membesar dan siap "menerkam" bank-bank kecil. 

Ini suatu tantangan berat buat bank-bank kecil. Idealnya, kecil dalam jumlah aset tidak harus kecil juga dalam kualitas asetnya. Sekiranya bank-bank kecil itu telah menerapkan prinsip prudential banking secara konsisten, tentu akan tetap berdiri kokoh, meski ada pandemi, karena early warning system-nya berfungsi dengan baik.

Bagaimanapun juga, kawin paksa selalu tidak enak bagi salah satu pihak. Seperti kisah Siti Nurbaya, perkawinannya dengan Datuk Maringgih adalah kebahagiaan sang datuk di atas penderitaan Siti Nurbaya. Bank mana saja yang akan jadi "Siti Nurbaya"?

Dok. Kontan/Cheppy A. Muchlis
Dok. Kontan/Cheppy A. Muchlis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun