Nah, penyaluran dana dengan skema bank jangkar ini sebenarnya dapat dijadikan momentum untuk mendorong percepatan konsolidasi perbankan.Â
Bank-bank besar ibarat menjadi induk bagi bank-bank kecil. Istillah konsolidasi perbankan itu sendiri konotasinya adalah pengurangan jumlah bank, karena jumlah bank yang ada dinilai terlalu banyak dan tidak semuanya sehat.
Jumlah bank yang banyak pada gilirannya akan menyulitkan pihak OJK yang kewalahan melakukan audit atas masing-masing bank. OJK sendiri masih punya keterbatasan dari sisi kuantitas dan kualitas auditor.Â
Di lain pihak OJK tak mau kecolongan, jangan sampai ada bank yang kelihatannya sehat-sehat saja, namun menyimpan bom waktu. Bom waktu tersebut, jika memang ada, bisa saja diledakkan memanfaatkan momentum adanya pandemi Covid-19 ini.Â
Dengan demikian manajemen bank punya kambing hitam yang gampang disalahkan, padahal oknum bank diduga telah main mata dengan nasabah inti yang mengemplang kredit yang dikucurkan bank tersebut. Siapa tahu, kredit macet itu justru sebagian dipakai sendiri oleh oknum bank atau kerabatnya.
Sebelumnya sudah ada Perppu No 1 Tahun 2020 yang dikeluarkan 31 Maret 2020, yang mengembalikan fungsi BI sebagai lender of the last resort, fungsi yang dulunya lebih bertujuan untuk mengamankan sisi moneter, di mana BI memberikan bantuan likuiditas bagi bank yang bermasalah. Sekarang fungsinya ditambah dengan mengamankan sisi fiskal untuk membiayai defisit anggaran negara.
Caranya adalah BI diperbolehkan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana, sehingga pemerintah punya dana yang akan dipakai buat berbagai keperluan mendesak dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Tentu saja pengeluaran ini sebelumnya tidak dianggarkan pada anggaran belanja negara.Â
Perppu dimaksud juga memberi kewenangan pada OJK untuk memaksa konsolidasi, baik berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) secara tertulis (kontan.co.id, 5/4/2020).Â
LJK adalah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan seperti bank, asuransi, pegadaian, lembaga dana pensiun, multifinance, perusahaan sekuritas, dan sebagainya.
Dari uraian di atas, bila ingin disederhanakan, dalam kaitannya dengan bantuan untuk perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas, alurnya dimulai dari BI yang menutupi defisit anggaran pemerintah. Kemudian dari pemerintah mengucur ke bank jangkar, setelah itu baru dari bank jangkar ke masing-masing bank yang mengalami kesulitan karena merelaksasi kredit bagi UMKM.
Titik kritisnya adalah, seandainya bank yang sempoyongan, tetap tidak mampu berdiri kokoh meskipun sudah disuntik bantuan, inilah yang nantinya berkemungkinan besar akan dipaksa kawin berdasarkan kewenangan yang dimiliki OJK. Tentu bank jangkar menjadi bank yang diharapkan menjadi penyelamat.