Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Investor Asing Sengaja Ingin Menghancurkan BRI?

18 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 18 Mei 2020   11:58 5738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak provokatif pesan yang saya terima dari seorang teman melalui grup WhatsApp (WA) yang beranggotakan para pekerja dari sebuah bank milik negara. Pesan tersebut berupa link ke channel Youtube yang dibawakan seorang pengamat pasar saham. Judul videonya yang saya anggap provokatif; Profit Luar Biasa, Kenapa BBRI Dihancurkan Asing?

Setelah saya simak, ternyata isinya tidak seseram judulnya. O ya BBRI adalah kode saham Bank Rakyat Indonesia yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengertian "dihancurkan" di sini bukan membuat BRI sebagai sebuah perusahaan menjadi hancur berkeping-keping, namun membuat harga sahamnya anjlok tajam. 

Dari pengamatan saya sekilas, bukan BRI saja yang harga sahamnya terjun bebas, tapi juga banyak perusahaan lainnya. Untuk perbankan misalnya, bank lain sesama penghuni papan atas jajaran bank-bank nasional, yakni Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Negara Indonesia (BNI), juga mengalami hal yang sama. 

Namun tulisan ini terfokus membahas BRI, bank yang terkenal sebagai jagoan dalam penyaluran kredit mikro bagi para pedagang kecil, petani, nelayan, dan masyarakat kelas menengah ke bawah lainnya. Bank ini punya keunggulan karena jaringan kantornya terbanyak dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Boleh dikatakan di setiap kecamatan, ada kantor BRI.

Kenapa pihak asing disebut menghancurkan BBRI? Itu karena selama ini investor asinglah yang sangat dominan dalam  menentukan pergerakan harga saham  BBRI. Dari seluruh saham BRI yang beredar di BEI, 81,7 persen di antaranya (per akhir Februari 2020 lalu) adalah milik asing. Jelaslah, yang paling banyak punya saham, sehingga dapat disebut sebagai bandar karena mampu menggerakkan harga, ya pihak asing itu.

Jangan keliru dengan pendapat umum bahwa harga saham terbentuk terutama sebagai respon dari berita di media massa. Ada berita bagus, harga saham akan naik, dan sebaliknya kalau berita jelek. Secara umum boleh dibilang begitu, tapi tidak sesederhana itu. 

Karena porsi kepemilikan asing versus lokal demikian timpang pada BBRI, mereka yang memiliki paling banyaklah yang menjadi penentu harga. Jika investor asing serentak melakukan aksi jual, rontoklah harga saham. Nanti kalau mereka kembali berburu BBRI, harga kembali terkerek naik.

Sebagai bank milik negara, memang saham BRI secara mayoritas, sekitar 55 persen, masih dimiliki oleh pemerintah. Tapi ini bukan saham yang diperdagangkan di BEI dan tidak bisa apa-apa untuk mempengaruhi harga saham.

Maka kondisi dunia yang dihantam pandemi Covid-19 betul-betul mimpi buruk bagi perdagangan saham di banyak negara, tidak hanya Indonesia. Sepanjang tahun ini sampai posisi tanggal 15 Mei 2020, BBRI telah tergerus lebih dari 50 persen. Sempat menyentuh harga tertinggi di awal Januari lalu  di harga Rp 4.700-an per lembar, sekarang hanya dihargai jadi Rp 2.240.

Padahal pihak manajemen BRI baru saja mempublikasikan kinerja keuangannya selama triwulan pertama tahun ini, dengan keberhasilan mencetak laba Rp 8,16 triliun. Ini jumlah yang sama besarnya dengan  kondisi triwulan pertama 2019 lalu. Perlu dicacat, BRI adalah bank dengan predikat sebagai pencetak laba terbesar di antara perbankan nasional sejak 12 tahun terakhir.

Masalahnya, publikasi yang dilakukan manajemen BRI, Kamis (14/5/2020) itu, sama sekali tidak mampu mengangkat harga BBRI. Malahan pada perdagangan saham besoknya (15/5/2020), BBRI semakin nyungsep. Artinya, kemungkinan besar di mata investor asing, meskipun BRI sampai triwulan 1 tahun ini kinerjanya belum terpengaruh dampak kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tapi prospek ke depannya akan memburuk.

Soalnya, bank-bank besar di Amerika Serikat sendiri, pada triwulan pertama 2020 perolehan labanya sudah turun 50 hingga 60 persen jika dibandingkan dengan triwulan pertama 2019. Makanya, bisa jadi, mumpung kinerja BRI masih baik, pihak asing buru-buru melakukan aksi jual, karena berharap masih ada investor lokal yang mau membeli.

Bayangkan bila investor lokal yang jumlahnya semakin banyak, konon sudah mencapai sekitar satu juta orang, namun dengan daya beli rata-rata yang rendah, tidak tertarik untuk membeli saham yang dilepas investor asing, tentu harga BBRI akan terpuruk lebih dalam. 

Atau bisa juga investor asing tidak jadi menjual, namun melakukan trik tertentu dengan membeli BBRI selama satu atau dua hari saja, agar BBRI sedikit mengalami kenaikan. Biasanya trik ini berhasil memancing investor lokal untuk membeli BBRI, ketika itulah pihak asing segera melepas saham dengan jumlah yang jauh lebih besar, sehingga harga saham kian anjlok.

Dari video yang saya tonton di atas, disebutkan bahwa pihak asing telah meraup sekitar Rp 8 triliun dari hasil penjualan BBRI secara akumulatif sepanjang  tiga bulan terakhir ini. Pertanyaannya, apakah pihak asing masih untung dengan menjual murah BBRI?

Patut diingat bahwa BBRI punya kinerja yang relatif bagus sejak melantai di BEI, 10 November 2003 lalu. Harga per lembar Rp 2.240 saat ini memang yang terendah selama tiga tahun terakhir ini. Tapi itu bukan rekor terendah sepanjang keberadaan BBRI di BEI.

Manajemen BRI sudah dua kali melakukan stock split atau pemecahan saham. Sehingga kalau dibandingkan dengan saat pertama kali melantai di bursa, 1 lembar saham saat itu sama nilainya dengan 10 lembar saham saat ini. Artinya harga per lembar Rp 2.240 sekarang, sama dengan harga Rp 22.400 per lembar bila tidak di-stock split.

Maksudnya, bila investor asing menjual saham BBRI yang dibelinya tahun 2012 atau 2013 lalu, lalu sekarang dijual Rp 2.000-an per lembar, mereka masih menangguk untung yang lumayan. Lagi pula sangat logis bagi investor yang berpengalaman untuk bertindak cepat dalam melakukan aksi jual dalam rangka mengurangi risiko di masa penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.

Masalahnya, sudah banyak suara dari pengamat yang mengatakan sekarang saatnya bagi investor lokal untuk membeli saham, termasuk BBRI. Harganya sudah demikian murah, kapan lagi bila mau punya saham? Boleh-boleh saja, bila tujuannya untuk investasi jangka panjang. Kalau untuk dijual lagi dalam waktu satu hingga dua bulan ini, belum tentu menguntungkan, siapa tahu harganya masih akan turun lagi.

Jika yang membeli saham, karena sentimen nasionalisme ingin "menghajar" investor asing, sebaiknya jangan terlalu percaya diri akan berhasil menaikkan harga BBRI. Investor lokal, kebanyakan secara individu hanya membeli sedikit saham saja, dan susah menghimpun kekuatan bersama investor kecil lain dalam menghadapi pihak asing yang jadi bandar.

Tapi dalam perdagangan saham selalu ada siklus. Setelah sampai ke titik terendah, saat dampak panemi Covid-19 telah terkendali dengan baik dan BRI tetap berdiri kokoh, atau kalaupun mengalami penurunan kinerja, tetap punya prospek yang cerah, yakinlah bandar asing akan berbondong-bondong masuk lagi. Barulah BBRI akan kembali moncreng.

Maka betul dan perlu didukung bila investor lokal sekarang membeli BBRI, namun harus sabar menunggu datangnya titik balik. Satu lagi, harus punya modal cukup, jangan buru-buru ingin menjual saham karena kepepet, padahal harga masih rendah. Mudah-mudahan badai Covid -19 segera berlalu, sehingga juga mempercepat upaya pemulihan dampaknya bagi perekonomian.

Kesimpulannya, publik harus bisa membedakan kinerja perusahaan dengan kinerja saham. Ada memang perusahaan yang jelek kinerjanya dan membuat harga sahamnya juga anjlok. Tapi dalam kasus BRI, paling tidak hingga dipublikasikannya kinerja perusahaan selama triwulan pertama 2020, kinerjanya bagus. Hanya bandar punya pandangan lain sehingga menjual BBRI yang berakibat memerosotkan harga saham.

Jangan cepat curiga kalau pihak asing sengaja ingin menghancurkan BRI. Mereka hanya pedagang, yang mencari keuntungan atau menghindari kerugian. Tapi tidak tahu juga kalau ada konspirasi tingkat tinggi, ini butuh analisis yang lebih canggih. Banyak yang suka dengan teori konspirasi, tapi ada baiknya dikesampingkan dulu, sulit untuk mencari bukti konkret.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun