Soalnya, bank-bank besar di Amerika Serikat sendiri, pada triwulan pertama 2020 perolehan labanya sudah turun 50 hingga 60 persen jika dibandingkan dengan triwulan pertama 2019. Makanya, bisa jadi, mumpung kinerja BRI masih baik, pihak asing buru-buru melakukan aksi jual, karena berharap masih ada investor lokal yang mau membeli.
Bayangkan bila investor lokal yang jumlahnya semakin banyak, konon sudah mencapai sekitar satu juta orang, namun dengan daya beli rata-rata yang rendah, tidak tertarik untuk membeli saham yang dilepas investor asing, tentu harga BBRI akan terpuruk lebih dalam.Â
Atau bisa juga investor asing tidak jadi menjual, namun melakukan trik tertentu dengan membeli BBRI selama satu atau dua hari saja, agar BBRI sedikit mengalami kenaikan. Biasanya trik ini berhasil memancing investor lokal untuk membeli BBRI, ketika itulah pihak asing segera melepas saham dengan jumlah yang jauh lebih besar, sehingga harga saham kian anjlok.
Dari video yang saya tonton di atas, disebutkan bahwa pihak asing telah meraup sekitar Rp 8 triliun dari hasil penjualan BBRI secara akumulatif sepanjang  tiga bulan terakhir ini. Pertanyaannya, apakah pihak asing masih untung dengan menjual murah BBRI?
Patut diingat bahwa BBRI punya kinerja yang relatif bagus sejak melantai di BEI, 10 November 2003 lalu. Harga per lembar Rp 2.240 saat ini memang yang terendah selama tiga tahun terakhir ini. Tapi itu bukan rekor terendah sepanjang keberadaan BBRI di BEI.
Manajemen BRI sudah dua kali melakukan stock split atau pemecahan saham. Sehingga kalau dibandingkan dengan saat pertama kali melantai di bursa, 1 lembar saham saat itu sama nilainya dengan 10 lembar saham saat ini. Artinya harga per lembar Rp 2.240 sekarang, sama dengan harga Rp 22.400 per lembar bila tidak di-stock split.
Maksudnya, bila investor asing menjual saham BBRI yang dibelinya tahun 2012 atau 2013 lalu, lalu sekarang dijual Rp 2.000-an per lembar, mereka masih menangguk untung yang lumayan. Lagi pula sangat logis bagi investor yang berpengalaman untuk bertindak cepat dalam melakukan aksi jual dalam rangka mengurangi risiko di masa penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
Masalahnya, sudah banyak suara dari pengamat yang mengatakan sekarang saatnya bagi investor lokal untuk membeli saham, termasuk BBRI. Harganya sudah demikian murah, kapan lagi bila mau punya saham? Boleh-boleh saja, bila tujuannya untuk investasi jangka panjang. Kalau untuk dijual lagi dalam waktu satu hingga dua bulan ini, belum tentu menguntungkan, siapa tahu harganya masih akan turun lagi.
Jika yang membeli saham, karena sentimen nasionalisme ingin "menghajar" investor asing, sebaiknya jangan terlalu percaya diri akan berhasil menaikkan harga BBRI. Investor lokal, kebanyakan secara individu hanya membeli sedikit saham saja, dan susah menghimpun kekuatan bersama investor kecil lain dalam menghadapi pihak asing yang jadi bandar.
Tapi dalam perdagangan saham selalu ada siklus. Setelah sampai ke titik terendah, saat dampak panemi Covid-19 telah terkendali dengan baik dan BRI tetap berdiri kokoh, atau kalaupun mengalami penurunan kinerja, tetap punya prospek yang cerah, yakinlah bandar asing akan berbondong-bondong masuk lagi. Barulah BBRI akan kembali moncreng.
Maka betul dan perlu didukung bila investor lokal sekarang membeli BBRI, namun harus sabar menunggu datangnya titik balik. Satu lagi, harus punya modal cukup, jangan buru-buru ingin menjual saham karena kepepet, padahal harga masih rendah. Mudah-mudahan badai Covid -19 segera berlalu, sehingga juga mempercepat upaya pemulihan dampaknya bagi perekonomian.