Tapi pelepasan rasa marah saya yang paling ampuh adalah dengan menulis. Saya punya buku agenda tahunan pembagian dari kantor, yang selain untuk mencatat saat mengikuti rapat di kantor, juga berfungsi mirip catatan harian.
Dengan menulis saat ingin marah, saya sekaligus memetakan masalahnya, kenapa terjadi hal yang membuat saya jadi marah. Dengan peta tersebut, saya jadi tahu di mana salah saya dan di mana salah orang lain.Â
Yang salah saya akan saya akui sebagai bahan memperbaiki diri. Sedangkan yang salah orang lain, jika demikian mengganggu saya, saya akan marah dengan cara saya sendiri, yakni seperti yang telah saya singgung di awal tulisan ini, saya akan mencari kesempatan untuk berbicara berdua saja dengan si biang keladi itu.
Saya akan jelaskan apa tindakannya yang tidak bisa saya terima. Kalaupun si biang keladi tetap dengan pendiriannya, minimal ia telah tahu bahwa saya dalam poisisi tidak setuju atau tidak bisa menerima sikapnya itu. Paling tidak saya semakin berhati-hati bila bekerja sama lagi dengan orang seperti itu di masa datang.
Menahan-nahan rasa marah memang tidak baik. Setiap orang perlu menyiasati untuk tidak menahan rasa marah, agar terhindar dari stres yang berkepanjangan, dan tidak berbahaya ke jantungnya.Â
Tapi hati-hati juga kalau seenaknya mengumbar amarah. Justru persepsi yang lebih banyak diterima masyarakat, orang yang pemarah akan mengidap darah tinggi, ujung-ujungnya bisa membahayakan jantungnya pula.Â
Akhirnya, menahan marah atau mengumbar marah, sama-sama jadi masalah. Mengelola rasa marah dengan baik, itu yang menjadi kunci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H