Suatu kali saya malah dimarahi Sherly. "Pak tolong jangan tongkrongi saya, saya jadi tidak konsentrasi bekerja, bapak tunggu saja di ruangan kerja bapak, pasti saya selesaikan," demikian kata Sherly dengan gaya agak sengak.
Karyawan lain pada bengong memandang saya dan Sherly. Wajar, tentu mereka  menunggu-nunggu apakah saya yang secara kepangkatan beberapa lapis di atas Sherly, akan membalas kemarahan Sherly. Tidak, saya tidak marah, malah sambil senyum saya bilang terima kasih ke Sherly dan kembali ke ruangan kerja saya.
Nah, pertanyaannya apakah saya menahan rasa marah? Mungkin iya pada beberapa detik pertama. Muka saya seakan tertampar di depan anak buah yang lain dimarahi oleh seseorang yang sebetulnya di bawah "kekuasaan" saya.
Tapi untungnya saya masih bisa berpikir agak jernih, mencoba melihat dari sisi Sherly. Saya kira ia betul, kalau ditongkrongi atasan, ia jadi terganggu, padahal  ia bukan tipe yang suka cari muka yang baru bekerja bila dilihat atasan.
Maka seketika itu juga rasa marah saya, atau lebih tepatnya rasa malu saya karena anak buah yang lancang, bisa sirna. Jadi tidak ada namanya menahan-nahan rasa marah, sehingga juga tidak membuat saya stres, dan insya Allah tidak berdampak buruk ke kesehatan jantung saya.
Berbeda halnya bila saya tetap merasa harus membalas perlakuan Sherly, dalam arti saya memelihara rasa dendam. Misalnya saya biarkan Sherly bekerja menyelesaikan pekerjaannya, tapi besok-besok saya akan hajar ia. Dan ternyata kesempatan untuk menghajar itu tidak pernah datang, sehingga saya menahan dendam yang bikin stres. Ini bisa saja berdampak buruk ke jantung saya.
Saya sendiri tentu sangat takut mendengar sakit jantung. Tapi kok ya saya merasa teman saya yang bilang saya bisa sakit jantung itu, salah kaprah. Saya merasa tidak menahan-nahan marah, tapi alhamdulillah mampu mengendalikan rasa marah. Jadi tak ada marah yang saya pendam, karena memang saya memahami kenapa seseorang melakukan hal yang tadinya kurang saya sukai.
Lagi pula, kalau mengacu ke ajaran agama, bukankah kita memang dianjurkan untuk menahan rasa marah. Saya sering mendengar ceramah di masjid tentang bagaimana cara mengendalikan rasa marah dengan mengubah posisi kita  menjadi lebih rileks.Â
Jika tadinya kita lagi berdiri, gantilah dengan posisi duduk. Jika ketika duduk pun masih ingin marah, berbaringlah. Dianjurkan pula agar berwudhu dengan air dingin, sehingga kepala jadi ikut dingin.
Yang penting adalah mengenali atas dasar apa kalau kita harus marah dan lalu bagaimana menyikapinya. Jangan main marah saja secara spontan. Bayangkan kalau kita yang salah tafsir, padahal telah terlanjur marah-marah.
Tentu dalam beberapa hal saya pernah pula gagal mengelola rasa marah. Tapi alhamdulillah, saya tidak mau stres yang katanya akan berujung ke sakit jantung itu. Saya punya pelarian, yakni menceritakannya pada istri setelah pulang ke rumah.