Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pegadaian Swasta Menjamur, Menjaring Nasabah yang Kebelet "Melipat" Barang

5 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 5 Mei 2020   04:06 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah gadai sudah lama dikenal masyarakat kita, karena secara tradisional hal ini telah diterapkan, tanpa melibatkan lembaga keuangan yang  resmi beroperasi sebagai perusahaan jasa pegadaian.

Contohnya, di kampung saya di Sumatera Barat, sangat lazim menggadaikan sepetak sawah untuk mendapatkan sejumlah uang sebagai pinjaman. Meskipun pihak yang menggadaikan menerima sejumlah uang, namun dianggap berutang sebesar sejumlah sekian gram emas yang dapat dibeli dengan uang pinjaman tersebut saat gadai dilakukan.

Sepanjang si peminjam belum membayar utangnya, sawah masih menjadi milik si pemegang gadai atau yang memberikan pinjaman. Pihak yang berutang harus mengembalikan uang seharga sekian gram emas pada saat pembayaran dilakukan. Tahu sendiri bahwa harga emas cenderung naik terus, makanya tak jarang akhirnya si pengutang tak mampu membayar sampai akhir hayatnya.

Namun  ahli waris dari pengutang yang sudah meninggal masih boleh menebus gadai tersebut sepanjang punya uang dan berminat untuk membayar. Semua utang piutang berbasis gadai tersebut hanya didukung bukti secarik kertas yang ditandatangani kedua belah pihak. Bila sudah melewati puluhan tahun, karena buktinya sudah hilang, sering pula menjadi sumber sengketa antar anak cucu kedua belah pihak.

Maka tentu saja proses gadai yang dilakukan dengan lembaga gadai resmi yang diizinkan beroperasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lebih jelas hak dan kewajiban para pihak yang terkait. Inilah yang sebaiknya menjadi tempat penyelamat warga yang punya barang, dan ingin "dilipat" menjadi uang pinjaman yang nanti bisa ditebus lagi.

Sekarang, sangat banyak perusahaan yang bergerak di bidang pegadaian. Coba saja lihat di kota-kota besar, kehadiran kantor kecil mirip koperasi dengan papan nama usaha gadai, tersebar di banyak lokasi. 

Padahal sampai era Orde Baru berakhir, satu-satunya perusahaan jasa pegadaian yang ada hanyalah PT Pegadaian (dulu masih berupa perusahaan umum, Perum Pegadaian), yang merupakan perusahaan milik negara. 

Maka bisa dipastikan bahwa sekarang ini, selain PT Pegadaian, semua perusahaan gadai yang menggunakan nama lain adalah milik swasta. Awalnya OJK kewalahan mengawasi menjamurnya pegadaian swasta, tapi kemudian sekarang lebih tertib karena telah dibuat regulasinya.

Jadi, masyarakat perlu hati-hati, jika ingin menggadaikan barang, sebaiknya menggunakan di perusahaan yang sudah mendapat izin dari OJK. Tentu kita tidak ingin begitu menebus barang tersebut, malah kantor tempat kita menggadaikan barang sudah tutup.

Sekadar catatan, menurut data resmi dari website OJK, pada posisi 27 Mei 2019, terdapat 26 pelaku usaha  pegadaian yang telah mendapatkan izin dari OJK, dan 72 pelaku usaha pegadaian yang mendapatkan tanda bukti terdaftar. Satu pelaku usaha, seperti bank, bisa punya banyak kantor cabang yang tersebar di berbagai kota.

Karena saking banyaknya, jangan buru-buru langsung memutuskan untuk menggadaikan barang ke suatu perusahaan gadai yang kebetulan pertama kali kita datangi. Coba dulu berkeliling ke beberapa perusahaan yang berbeda (bukan perusahaan yang sama tapi berbeda lokasi kantor cabang). Mana yang berani menghargai barang yang akan kita gadai dengan lebih tinggi, itu yang akhirnya dipilih.

Ada lagi faktor bunga pinjaman yang harus kita perhitungkan, kecuali kalau kita memilih lembaga gadai yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Tentu saja kita mencari perusahaan gadai yang mengenakan bunga terendah.

Baca pula apa saja hak-hak dan kewajiban kita sebelum setuju "melipat" barang. Jangan sampai ketika sudah punya uang untuk menebus, ternyata barang kita sudah dilelang perusahaan gadai karena kita terlambat melakukan penebusan.

Ada perusahaan gadai yang hanya memberikan jatuh tempo penebusan dalam 4 bulan, ada pula yang 5 atau 6 bulan. Boleh saja minta perpanjangan jatuh tempo dengan memberikan konfirmasi sebelum jatuh tempo semula berakhir, dan konsekuensinya harus bersedia membayar tambahan bunga.

Saat bencana pandemi Covid-19 sekarang ini yang sangat membatasi pergerakan masyarakat, dan ditambah lagi karena mau menghadapi lebaran, perusahaan jasa gadai betul-betul menjadi penyelamat bagi sejumlah warga yang tergolong kelompok marjinal.

Barang yang lazim digadaikan di perusahaan gadai milik negara adalah emas, alat elektronik, dan kendaraan bermotor. Sedangkan di kantor gadai milik swasta lebih suka menerima barang elektronik seperti televisi, laptop, ponsel, kamera DSLR, dan kendaraan bermotor seperti mobil dan motor.

Harian Kompas (2/5/2020) misalnya antara lain menulis kisah seorang pengemudi ojek daring, Basuki (55 tahun) yang ditemui  wartawan Kompas di kantor Super Gadai  di kawasan Cililitan, Jakarta Timur. Basuki berniat menggadaikan salah satu ponselnya untuk mendapatkan uang tunai secara cepat agar bisa membayar biaya kontrak rumah.

Ada lagi Sriyono (49 tahun), yang lagi berada di kantor pusat Pegadaian, Jakarta Pusat. Ia sedang menjual tabungan emasnya seberat 5 gram yang telah ditabungnya selama 2 tahun. Ia terpaksa menjualnya untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

O ya, masih sering terjadi salah kaprah bagi sebagian orang yang berpendapat bahwa bank juga bisa berfungsi seperti rumah gadai. Bukankah sering kita mendengar kalau ada yang bertanya, berapa bank berani memberi pinjaman dengan jaminan  BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor) kendaraannya?

Perlu diingat, bank bukanlah perusahaan gadai.  Kalaupun ada peminjam yang diminta bank untuk menyerahkan BPKB-nya, itu hanya sebagai agunan tambahan. Yang dijadikan acuan oleh bank adalah cash flow calon peminjam, yakni dari slip gaji bulanan bagi seorang pegawai yang mengajukan permohonan pinjaman konsumtif, atau dari omzet penjualan bagi pedagang yang mengajukan permohonan kredit usaha produktif.

Beruntunglah mereka yang masih punya sesuatu untuk "dilipat", sehingga masih bisa memperpanjang "nafas". Pertanyaannya, bagaimana dengan saudara kita yang sudah tidak punya barang lagi? Harusnya segera mendapatkan bantuan sosial, tapi ini ternyata tidak semulus yang diomongkan pejabat pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun