Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Nenek-nenek di Desa Menolak Menerima Beras Bansos

22 April 2020   09:26 Diperbarui: 22 April 2020   10:08 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menuis artikel ini setelah mengikuti siaran berita dari salah satu stasiun televisi, Selasa (21/4/2020) siang. Ada hal menarik yang terjadi di Desa Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Terlihat ada beberapa orang anak muda yang berkeliling dari rumah ke rumah untuk menyerahkan beras bantuan sosial (bansos). Tapi ada 3 rumah yang diliput, semuanya menolak menerima beras itu. 

Padahal kalau melihat rumah tempat tinggalnya, mereka sangat layak menerima bantuan. Ada dua orang nenek yang ditanya reporter televisi, keduanya dalam bahasa Minang memberikan jawaban yang senada dan menyentuh hati saya.

Katanya, ia merasa kasihan melihat orang lain yang punya anak-anak yang masih kecil. Berikan  saja beras tersebut kepada yang lebih menderita.  

Sebagian keluarga, mau menerima beras bansos, tapi dalam jumlah separuhnya. Dari jatah per keluarga sebanyak 20 kg beras, diambilnya 10 kg saja, sisanya agar disampaikan kepada keluarga lain yang sebelumnya tidak terdaftar sebagai penerima. Hal tersebut dapat dinilai sebagai wujud rasa kebersamaan, jangan hanya segelintir saja yang menerima bansos.

Si Nenek mengaku masih punya persediaan beras. Bagi orang di kampung, biasanya memang menyimpan persediaan beras, baik dari hasil panen sawahnya sendiri, maupun  dari bagi hasil bila bekerja di sawah orang lain.

Barangkali pemerintah daerah setempat perlu lebih kreatif. Bansos berupa beras sebaiknya ditujukan bagi masyarakat perkotaan. Sedangkan bagi warga desa, bantuan yang lebih dibutuhkan adalah seperti bahan lauk pauk yang bergizi, minyak goreng, garam, atau alat pelindung seperti masker dan cairan pencuci tangan.

Masih soal bansos, di Jakarta, kumparan.com (16/4/2020), memberitakan warga di salah satu RW di Kelapa Gading, Jakarta Utara, menolak pemberian bantuan paket sembako. Alasannya, ada warga lain yang lebih membutuhkan.

Kebetulan penolakan warga Kelapa Gading itu juga diberitakan salah satu stasiun televisi. Di layar kaca memang terlihat tampilan si penerima dan rumah tempat tinggalnya mencerminkan kehidupannya yang tergolong mencukupi.

Ternyata pandemi Covid-19 cukup berhasil menggugah rasa sosial banyak warga. Dulu sering kita dengar, orang yang sebetulnya mampu pun ikut berebut meminta bansos.

Tapi ada nuansa yang berbeda antara berita di Desa Malalak di atas dengan yang di Kelapa Gading. Untuk yang di desa, sebetulnya terlihat bahwa warga yang mendapat bansos memang layak menerima. Tapi mereka menolak karena merasa ada yang lebih membutuhkan. 

Adapun warga di Kelapa Gading, boleh dikatakan pemberian bansos yang salah alamat. Bagaimanapun juga, penolakan bansos bisa dilihat sebagai hal yang positif.

Namun ada juga yang agak berbau kontradiktif. Di satu sisi, masyarakat menolak menerima bansos dengan alasan banyak warga lain yang lebih membutuhkan. Artinya, ada kesadaran untuk mendahulukan kelompok yang kehidupannya lebih sulit, antara lain karena kehilangan pekerjaan atau kehilangan pelanggan bila mereka berdagang.

Tapi di sisi lain, seperti banyak diberitakan media massa, terlihat wajah garang sebagian warga yang mengucilkan orang atau rumah yang diduga penghuninya  telah terpapar Covid-19. Yang sangat menyesakkan dada, banyak yang dengan pongah menolak memakamkan warga desanya sendiri yang meninggal karena Covid-19.

Apakah bisa disimpulkan, ketika sama-sama berjuang melawan wabah Covid-19, semua warga kompak bersatu. Warga yang kaya membantu yang miskin. Kekompakan langsung sirna begitu ada satu warga yang terpapar, dan berubah menjadi kompak untuk mengucilkan.

Coba pandang dari sisi yang dikucilkan, betapa menyedihkannya. Terpapar Covid-19 bukanlah aib, toh siapa saja berpotensi untuk terkena. Bukankah sebagian warga yang tengah melakukan isolasi mandiri, harusnya tidak saja menerima bansos, tapi juga mendapat dukungan moral dari tetangganya sendiri.

Semoga dengan semakin gencarnya sosialisasi dari pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat, upaya pengucilan dan penolakan pemakaman jenazah tidak terjadi lagi.

Kembali ke soal bansos, penting pula kiranya pemerintah dan juga dibantu masyarakat untuk mengawasi dua hal yang menjadi sumber kerawanan, yakni bantuan yang salah alamat, dan tindak korupsi atas anggaran yang dimaksudkan untuk bansos.

Kita sangat prihatin melihat warga perantau di Jabodetabek yang kehilangan mata pencaharian, namun mereka juga tidak dibolehkan pulang ke kampung halamannya. Untuk kelompok seperti ini, tak usah dipersoalkan KTP dari daerah mana yang dipegangnya, segera saja kucurkan bansos.

Ketika saya mau menutup tulisan ini, lagi-lagi sambil menonton siaran berita televisi, kembali ada tiga berita yang membuat saya terenyuh.

Pertama, di Nganjuk, Jawa Timur, pembagian paket sembako langsung diserbu warga yang berebut tak terkendali, sehingga yang datang belakangan tidak kebagian. Praktis aturan menjaga jarak sudah tidak diindahkan mereka yang berebut bansos.

Kedua, di Serang, Banten, ada seorang ibu yang meninggal dunia karena sudah dua hari hanya minum air putih saja. Namun setelah berita itu tersiar, bantuan mulai mengalir yang diberikan ke suami almarhumah, termasuk yang dikirimkan Presiden.

Ketiga, di Medan, ada seorang bapak yang nekad mencuri beras 5 kg di warung tetangganya, karena sudah seminggu keluarganya tidak makan nasi, hanya mi instan saja. Si pencuri dipukuli warga, tapi akhirnya pemilik warung merasa kasihan, dan mengikhlaskan beras tersebut diambil tetangganya yang malang itu.

Ternyata masalah bansos, bukan soal sederhana. Selain bagaimana agar tepat sasaran, cara pendistribusian yang efektif juga perlu dipikirkan. Jangan malah melanggar ketentuan physical distancing, dan jangan pula sampai membawa korban nyawa.

Meninggal karena kelaparan sama memprihatinkannya dengan meninggal karena Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun