Padahal Eli punya otak yang encer dan dalam hati sebetulnya ingin masuk kuliah seperti teman-temannya. Meskipun punya suami seorang pegawai pemda, tapi dengan golongan II b pada awal dekade 80-an, Eli mau tak mau harus mampu menjadi wanita "super".
Tanpa asisten rumah tangga, Eli harus membesarkan 4 orang anaknya dengan pekerjaan harian yang bikin pontang panting. Antar jemput anak-anaknya dengan naik motor ke dan dari sekolah, selain juga mengerjakan semua aktivitas rumah tangga seperti berbelanja ke pasar, memasak, mencuci, menyetrika, dan sebagainya, dilakukannya dengan sepenuh hati.
Ya, Eli boleh saja disebut sebagai hanya IRT biasa. Tapi dengan keberhasilan mengantarkan keempat anaknya menjadi sarjana, yang kini masing-masingnya menjadi pegawai negeri, dokter umum, karyawan bank milik negara, dan karyawan di sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka, Eli membuktikan prestasinya yang bukan sekadar biasa-biasa saja.
Meskipun 5 tahun lalu, suami Eli telah berpulang ke rahmatullah, karena anak-anaknya sudah mandiri, Eli sudah bisa sedikit lega. Makanya ia bisa ikut reuni dengan teman sekolahnya, yang diadakan di kota yang jauh dari tempat domisilinya sekarang.Â
Eli masih menerima uang pensiun bulanan sebagai istri dari seorang pegawai negeri yang telah meninggal. Karena almarhum suaminya belum punya jabatan, pensiun yang diterima Eli tidak banyak, malah tidak sampai Rp 2 juta per bulan. Tapi itu sudah membuatnya bersyukur.
Saya tidak pernah menganggap IRT sebagai hal yang biasa, karena teringat dengan almarhumah ibu saya. Kesabaran ibu saya mendampingi ayah saya yang penghasilannya pas-pasan dan membesarkan 7 orang anaknya, alhamdulillah membuahkan hasil ketika semua anaknya bisa mandiri.
Nah, kembali pada kisah dari reuni sekolah, satu lagi yang saya angkat di sini adalah seorang janda bernama Fifi. Ia pernah bekerja namun kemudian berhenti karena ingin fokus mengurus dua anaknya, karena tidak diizinkan oleh suaminya yang seorang pengusaha.
Sayangnya saat kedua anaknya masih duduk di bangku kuliah, sang suami meninggal dunia. Bukan meninggalkan warisan, malah meninggalkan utang yang lumayan banyak untuk bisnis apotik milik almarhum suaminya.
Maka kehidupan Fifi yang sebelumnya relatif mapan, tiba-tiba seperti mau ambruk. Ia terpaksa melego aset yang dimilikinya untuk melunasi utang dan untuk biaya kuliah kedua anaknya. Bisnis almarhum suaminya tidak lagi diteruskan Fifi, tapi sekarang ia agak tenang karena anak-anaknya telah berhasil.
Jadi, menurut saya, seorang IRT yang anak-anaknya berhasil, dalam arti bisa menyelesaikan pendidikan dan mempunyai pekerjaan yang relatif mapan, jauh lebih berharga ketimbang wanita karir yang punya penghasilan besar, tapi gagal dalam mendidik anak.
Apa artinya karir sukses bila anak-anak tak terurus seperti ketagihan narkoba, terlibat pergaulan bebas, masuk penjara, atau masih "menyusu" sama orang tuanya pada saat si anak sudah berumah tangga.