Bagi yang belajar ilmu ekonomi, apalagi yang bekerja di bank, tentu mengetahui fungsi Bank Indonesia (BI) yang merupakan  bank sentral di negara kita sebagai "lender of the last resort". Untuk lebih praktis, selanjutnya disingkat saja sebagai LLR.
Secara bebas, pengertian LLR dapat disebut sebagai "palang pintu terakhir" agar sistem perbankan nasional tidak jebol. Ketika terjadi krisis keuangan skala besar yang membuat banyak bank bertumbangan, fungsi LLR bisa dimainkan BI dengan memberikan pinjaman kepada bank-bank yang mengalami kesulitan lukuiditas.
Itulah yang terjadi pada saat krisis moneter 1998 lalu. Bank-bank kecil yang kalau dilikuidasi dinilai tidak mengganggu perekonomian nasional, akhirnya dicabut izin operasionalnya.Â
Tapi bank-bank besar, yang sekarang disebut dengan bank sistemik, yang apabila dibiarkan hancur akan membahayakan perekonomian nasional karena ada yang namanya domino effect, akan dikucurkan dana penyelamatan oleh BI.
Makanya dulu dikenal istilah BLBI (Bantuan Lukuiditas Bank Indonesia) yang secara kesuluruhan jumlahnya sangat besar, lebih dari 100 triliun rupiah (ingat, itu sudah 22 tahun lalu, sekarang tentu sudah berlipat dua atau tiga, jika dikonversi dengan nilai rupiah saat ini).
Sayangnya BLBI tersebut juga menyisakan efek negatif seperti terjadinya penyelewengan. Seperti ditulis oleh kumparan.com (26/7/2018), pada tahun 1998 BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 144,53 triliun kepada 48 bank.Â
Kemudian pada tahun 2000, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI tersebut dan menemukan bahwa negara rugi sebesar Rp 138,7 triliun.
Oke, kita tinggalkan saja cerita dari masa lalu itu. Â Yang jelas setelah kita memasuki era reformasi, BI semakin independen dan mulai tidak lagi gegabah dalam membantu menyelamatkan bank-bank yang sekarat.
Bahkan sekarang setiap bank wajib menyiapkan stress test secara periodik setiap tiga bulan. Tes ini berupa simulasi bagaimana bila tiba-tiba kondisi ekonomi memburuk drastis.Â
Umpamanya kurs rupiah melemah luar biasa, pertumbuhan ekonomi menurun tajam, inflasi naik tak terkendali. Apa dampaknya pada masing-masing bank? Sekiranya kerugian bank jadi demikian besar, harus jelas pula apa jalan keluarnya.
Jalan keluar itu bisa berupa suntikan modal baru dari pemegang saham, melego aset bank yang masih bernilai signifikan, dan sebagainya. Bisa pula melakukan merger dengan bank lain atau diakuisisi oleh bank lain. Bank lain tersebut bisa berasal dari luar negeri, sepanjang disetujui oleh otoritas yang berwenang.
Tentu saja stress test itu menjadi sangat relevan saat ini, ketika badai virus corona yang menghantam ke seluruh penjuru dunia telah menggoyahkan perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia.Â
Gampang diduga, akibat menyebarnya virus tersebut, kegiatan perekonomian menurun drastis. Banyak perusahaan yang gulung tikar yang bisa berlanjut dengan PHK massal atas para karyawannya.Â
Di negara kita, perusahaan yang gulung tikar itu biasanya mendapatkan kucuran kredit dari perbankan nasional. Tentu ujung-ujungnya kredit macet di perbankan akan naik tajam. Inilah pukulan telak yang paling ditakuti kalangan perbankan.
Jangan berharap pihak bank bisa bermanja-manja dengan meminta BI menyalurkan BLBI lagi. Tapi berita terbaru, BI sekarang telah menyiapkan dana yang besar bukan membantu perbankan, melainkan membantu pemerintah yang diperkirakan akan mengalami defisit anggaran.
Seperti ditulis Kompas, Sabtu (4/4/2020), dalam Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Nomor 1 Tahun 2020  tentang  Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19, BI punya kewenangan baru sebagai LLR untuk membiayai defisit anggaran negara.Â
Peran tersebut belum pernah dijalankan BI sejak era reformasi dimulai dan baru sekarang BI diperbolehkan  membeli surat utang negara di pasar perdana untuk kepentingan fiskal. Hal ini bisa juga ditafsirkan bahwa BI memberi utang secara langsung kepada pemerintah.
Artinya, BI yang selama ini lebih menomorsatukan penyelamatan dari sisi moneter, seperti menyalurkan BLBI di atas, sekarang juga dituntut berperan besar dari sisi fiskal. Meskipun BI sebagai institusi tetap bersifat independen, bebas dari intervensi pemerintah.
Memang tidak dijelaskan berapa besar kemampuan BI dalam menambal anggaran negara yang mungkin saja akan berdarah-darah sepanjang tahun ini.Â
Semakin lama kita diserang oleh wabah virus corona, akan semakin menguras kas negara. Akhirnya berujung pada pertanyaan, seberapa besar kemampuan BI menyerap surat utang yang diterbitkan pemerintah.
Tapi bagaimanpun juga, langkah BI sudah tepat. Sekiranya pemerintah berutang ke luar negeri seperti yang sering terjadi selama ini, bisa jadi  sudah tidak gampang lagi. Bukankah semua negara juga mengalami hal yang sama, terlebih lagi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan berbagai negara di benua Eropa.
Bisa juga pemerintah menjual surat utang dan di lempar ke pasar internasional untuk dibeli oleh para fund manager yang megelola dana pihak swasta asing. Namun jangan berharap akan laris, kalau tidak memasang suku bunga tinggi yang artinya menambah beban pemerintah lagi.
Pada tahun-tahun yang lalu, sering pula pemerintah menerbitkan surat utang yang dijual di dalam negeri. Tapi masalahnya sama, pemerintah tetap harus memberikan imbalan lebih tinggi dari suku bunga deposito perbankan agar dilirik masyarakat yang punya dana.Â
Namun langkah pemerintah tersebut mendapat kritik dari para bankir, karena akhirnya para pembeli surat utang pemerintah itu hanya sekadar mengkonversi depositonya di bank menjadi pemegang surat utang pemerintah. Inilah yang membuat likuiditas perbankan jadi kering.
Semoga BI cukup cermat dalam berhitung agar nantinya tidak kehabisan nafas. Betapa fatalnya bila bank sentral dari suatu negara mengalami kekeringan dana. Yang namanya "palang pintu" diharapkan jangan sampai jebol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H