Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Boleh Tidak Mudik, asal THR Tetap Ngefek

3 April 2020   10:10 Diperbarui: 3 April 2020   11:12 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran tahun ini diperkirakan akan menjadi lebaran paling sepi yang pernah terjadi sejak berdirinya NKRI. Bahkan di masa perang gerilya pada tahun-tahun awal kemerdekaan, bila dibaca dari arsip media cetak ketika itu, lebaran tetap berlangsung semarak, paling tidak bisa melangsungkan salat Idul Fitri di lapangan atau di masjid.

Namun pada tahun ini, tidak hanya di negara kita, tapi di seluruh dunia, akibat badai virus corona, tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang mengumpulkan orang banyak. Jika kondisi belum membaik, pelaksaaan salat Idul Fitri yang jatuh pada minggu terakhir Mei mendatang, sangat mungkin ditiadakan.

Di Indonesia, lebaran itu identik dengan mudik. Inilah budaya yang selalu terpelihara, di mana para perantau serentak pulang ke kampung halaman masing-masing, bersilaturahmi dengan orang tua, saudara dan famili lainnya di sana. Tentu juga para pemudik akan membawa banyak oleh-oleh dari kota dan juga membagi-bagikan uang bagi familinya di kampung.

Jelaslah kebutuhan untuk mudik tidak hanya dari sisi para perantau saja, justru warga di kampung sangat berharap setiap lebaran akan semakin banyak para perantau yang pulang. Pada saat itulah terjadi distribusi pendapatan dari kota ke desa.

Perekonomian desa akan menggeliat dari kucuran uang para pemudik. Objek wisata di sekitar kampung halaman, para pedagang makanan tradisional, para perajin cenderamata, kusir delman, dan sebagainya, akan kecipratan manisnya uang dari ibu kota, tempat sebagian besar para pemudik mencari rezeki.

Saking besarnya pergerakan manusia, baik saat arus mudik maupun saat arus balik seusai lebaran, hampir semua stasiun televisi melakukan liputan langsung dari titik-titik tertentu yang dilewati kendaraan para pemudik.

Saat itu harga tiket bus, kereta api, kapal laut, ataupun pesawat terbang, melambung tinggi, namun jauh sebelumnya telah diburu para calon penumpang. Yang menggunakan kendaraan pribadi dari ibu kota Jakarta ke berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera, juga sangat banyak, sehingga menimbulkan kemacetan parah di beberapa titik.

Banyak pula perusahaan yang melakukan aksi corporate social reponsibility (CSR) dengan menggratiskan puluhan bus untuk keperluan mudik para pelanggan, nasabah, atau pedagang pengecer yang menjual produk perusahaan tersebut.

Posko siaga lebaran banyak berdiri di sepanjang jalur perjalanan para pemudik yang menyediakan berbagai layanan, sebagian besar bersifat gratis dari berbagai perusahaan.

Jelas kalau dihitung dengan cermat, besar sekali uang yang berputar sejak beberapa hari sebelum lebaran sampai beberapa hari sesudah lebaran. Selain untuk keperluan transportasi, uang tersebut juga mengalir ke para pedagang pakaian, makanan, dan sebagainya.

Semua itu adalah pengeluaran yang bersifat musiman tahunan, dan sumbernya pun bersifat musiman tahunan yaitu dari apa yang kita kenal dengan Tunjangan Hari Raya (THR).

Jangan mengira yang menerima THR hanya para pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta, atau pekerja pabrik saja, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemberian THR.

Para ibu-ibu rumah tangga pun memberikan THR pada para asisten rumah tangga dan juga untuk pengemudi kendaraan pribadinya. Pelayan toko mendapat THR dari pemilik toko. 

Petugas kemanan dan kebersihan di lingkungan perumahan mendapat THR dari saweran warga di suatu komplek. Besarnya THR untuk pekerja seperti itu tentu bervariasi sesuai kemampuan dan kebaikan hati si pemberi.

Apakah para pedagang tidak mendapat THR? Sepertinya begitu. Namun bukankah dari bertambahnya omzet penjualan mereka dari para penerima THR di atas, bukankah akhirnya para pedagang juga dapat dianggap mendapat THR?

Bahkan anak kecil yang minta THR dari paman-pamannya, kecipratan pula. Kemudian anak-anak itu membeli es krim atau mainan, sehingga giliran pedagang es krim dan pedagang mainan yang menikmati tetesan THR.

Artinya, semua pihak akhirnya akan menikmati THR, terlepas dari  besar kecilnya. Itulah luar biasanya THR dalam memutar roda perekonomian. Hal ini dalam ilmu ekonomi disebut dengan trickle down effect atau efek menetes ke bawah.

Maksudnya, para penerima THR tidak menyimpan uangnya, namun membelanjakannya, contoh kepada pedagang beras. Kemudian pedagang beras membelanjakan ke pedagang pakaian, dan begitu seterusnya.

Nah sekarang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang meminta tidak ada para perantau yang mudik lebaran di tahun ini, dan tidak ada pula aksi CSR perusahaan yang mengkoordinir program mudik gratis. 

Kebijakan itu, betapapun pahitnya harus kita patuhi. Itulah pertanda kita sebagai warga negara yang baik dan bahu membahu melawan keganasan penyebaran virus corona. Pemerintah memang tidak dengan tegas melarang mudik, istilahnya hanya imbauan. Tapi kita tahulah betapa besar ririkonya kalau nekad.

Pertarungan melawan musuh yang tidak kasat mata ini, harus kita menangkan, dan itu mutlak tanpa tawar menawar. Makanya jangan mudik, sekadar keluar rumah pun hanya untuk keperluan darurat saja.

Tapi agar roda perekonomian tetap bergulir, meskipun dengan tingkat kecepatan yang tidak selaju lebaran-lebaran sebelumnya, THR harus tetap diberikan kepada mereka yang berhak sesuai ketentuan perundang-undangan. Demikian pula THR yang bersifat sukarela kepada pekerja informal seperti yang telah disinggung di atas.

Jangan sampai ada perusahaan yang memotong jumlah THR atau bahkan tidak memberikan THR sama sekali dengan dalih pandemi Covid-19. Pada dasarnya, sesuai dengan prinsip manajemen yang baik, untuk pembayaran THR tahun ini telah dialokasikan anggarannya sejak akhir tahun lalu yang tercantum pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). 

RKAP 2020 itu disahkan oleh direksi dan komisaris perusahaan selambat-lambatnya pada akhir Desember 2019 lalu, dan menjadi acuan pada pelaksanaannya di tahun ini.

Kemudian bagi para penerima THR jangan disimpan saja, atau jangan dibelanjakan untuk menimbun bahan pokok, masker atau hand sanitizer yang malah meresahkan masyarakat.

Berbelanjalah secara normal seperti lebaran tahun lalu. Hanya mungkin cara berbelanjanya yang berubah, cukup menggunakan berbagai aplikasi secara online. Tetaplah mengirim uang ke kampung halaman, buat orang tua, saudara, para keponakan, dan sebagainya, tentu juga dengan cara online.

Meskipun tidak menerima tamu atau pergi bertamu, tetaplah membeli baju baru yang layak dipakai saat hari raya itu. Lakukan silaturahmi pakai video call. Tentu sangat kurang pas video call dengan menggunakan baju kaos singlet yang bolong-bolong atau pakai daster yang sudah kusam.

Tidak ada tamu, bukan berarti tidak perlu membeli kue lebaran. Justru saat video call itu tadi, silakan memakan kue lebaran atau ketupat opor ayamnya masing-masing. Punya THR bila tidak dibelanjakan, tidak akan ngefek. Asal jangan boros saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun