Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

WFH: Jarang Mandi, Brewok dan Gondrong

30 Maret 2020   00:07 Diperbarui: 30 Maret 2020   13:25 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. centerklik.com

Hari ini sehabis mandi pagi sekitar jam 11 siang (jam 11 itu pagi apa siang sih?), seperti biasa sejak dua minggu terakhir ini, saya kembali mencari baju kaos di tumpukan baju di lemari pakaian. Di sebelah lain baju kemeja lengan panjang, kemeja kasual dan kemeja batik berjejer rapi, tak lagi tersentuh.

Memang kalau saya lagi bekerja di kantor, pada hari tertentu harus memakai kemeja lengan panjang plus dasi. Ada pula hari tertentu yang memakai kemeja batik. Sedangkan pada hari lain lagi cukup memakai kemeja kasual dengan celana jean.

Kebiasaan mandi siang yang tentu saja tidak baik untuk diitiru orang lain itu, menjadi budaya baru saya sejak dibolehkan bekerja dari rumah (work from home atau disingkat WFH).

Untung saja saya tidak seperti beberapa teman di perusahaan lain yang cara bekerjanya sering berkomunkasi melalui video conference. Hal ini membuatnya selalu berpakaian rapi seperti lagi sedang di kantor.

Di awal saya ikut WFH, pernah dilakukan video conference. Hanya karena materi yang dibahas yang telah dibagikan kepada saya beberapa hari sebelumnya tertinggal di kantor, maka saya dan beberapa teman lain mengikutinya dari ruang rapat di kantor.

Tapi sebagian peserta rapat, khususnya komisaris utama dan anggota dewan komisaris, berada di rumah masing-masing dengan berpakaian formal. Rapat agak terlambat dimulai oleh komisaris utama, karena seorang ibu wajahnya tidak nongol di layar.

Ternyata si ibu tersebut malu melihat yang lain di layar terlihat berpakaian formal, sehingga ia minta waktu sebentar untuk berganti pakaian dan memasang hijab.

Kembali ke soal mandi, apakah nanti sore saya akan mandi lagi, karena memang biasanya saya mandi dua kali sehari?  Nah, ini dia yang saya agak pesimis.  Sekiranya sehari ini saya tidak banyak mengeluarkan keringat, bisa jadi saya akan memutuskan untuk tidak mandi lagi.

Ya, frekuensi mandi saya agak berkurang menjadi dampak negatif WFH bagi saya. Namun bukan hanya ini dampak jeleknya pada budaya keseharian saya.

Meskipun wajah dan tongkrongan saya pas-pasan saja, keinginan saya untuk tampil lebih baik, praktis hilang. Parfum tergeletak tanpa saya sentuh. Bila berdiam di rumah saja, benda yang disemprotkan dan menurut ukuran kantong saya relatif mahal itu, memang saya anggurin saja.

Minyak rambut pun begitu. Padahal ini minyak rambut khusus yang konon berkhasiat memperlambat datangnya uban. Sebetulnya sejak saat kuliah puluhan tahun lalu, rambut saya sudah ada ubannya sekadar beberapa helai.

Pas mulai memasuki usia kepala lima, warna putih di atas kepala saya semakin signifikan. Saya tidak berminat menyemir rambut, namun juga tidak mau putih total seperti, mohon maaf kalau terpaska meyebut nama, Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era kedua kepemimpinan Presiden SBY.

Alhamdulillah, seorang teman merekomendasikan minyak rambut produksi lokal yang sengaja tidak saya tulis mereknya agar tidak dianggap promosi. Sejak itu, paling tidak bagian yang masih hitam lebih pelan memutihnya. Namun gara-gara WFH, minyak rambut itupun saya biarkan tergeletak.

O ya seharusnya saya sudah memangkas rambut sekitar dua minggu yang lalu. Tapi lagi-lagi saya ketakutan kalau harus ke barber shop langganan saya yang biasanya saya datangi setiap 4 atau 5 minggu sekali.

Saya tentu tidak bisa menduga, pisau cukur yang digunakannya, apakah sebelumnya digunakan untuk melayani pelanggan yang pantas diduga berisiko tinggi atau tidak. Demi amannya ya tidak usah pangkas rambut.

Maka bila saya tetap tidak memangkas rambut sampai 19 April mendatang sesuai dengan imbauan terbaru dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saya akan mencatat rekor, memiliki rambut yang agak gondrong, menutupi sebagian telinga dan sebagian krah baju.

Hal itu adalah rekor rambut terpanjang yang pernah saya pelihara. Soalnya waktu saya kuliah di paruh pertama dekade 1980-an, era mahasiswa berambut gondrong sudah berlalu. 

Mencukur kumis dan jenggot pun saya malas. Entah apa yang merasuki saya, kok malasnya gak ketulungan kayak gitu. Mungkin ini sebagai perwujudan obsesi saya di saat masih SMP dulu.

Ya dulu saya pernah berangan-angan jadi penyair karena menyukai puisi-puisi WS Rendra. Dan dalam imajinasi saya, penyair tulen itu penampilannya berambut gondrong dan brewokan.

Nasib berkata lain, saya tidak kuliah di Fakultas Sastra, melainkan di Fakultas Ekonomi. Kemudian "terjerumus" jadi orang kantoran sampai sekarang.

Jadi, dengan WFH saya seperti merasa sudah jadi seorang penyair saja. Pura-puranya begitu.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun