Pas mulai memasuki usia kepala lima, warna putih di atas kepala saya semakin signifikan. Saya tidak berminat menyemir rambut, namun juga tidak mau putih total seperti, mohon maaf kalau terpaska meyebut nama, Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era kedua kepemimpinan Presiden SBY.
Alhamdulillah, seorang teman merekomendasikan minyak rambut produksi lokal yang sengaja tidak saya tulis mereknya agar tidak dianggap promosi. Sejak itu, paling tidak bagian yang masih hitam lebih pelan memutihnya. Namun gara-gara WFH, minyak rambut itupun saya biarkan tergeletak.
O ya seharusnya saya sudah memangkas rambut sekitar dua minggu yang lalu. Tapi lagi-lagi saya ketakutan kalau harus ke barber shop langganan saya yang biasanya saya datangi setiap 4 atau 5 minggu sekali.
Saya tentu tidak bisa menduga, pisau cukur yang digunakannya, apakah sebelumnya digunakan untuk melayani pelanggan yang pantas diduga berisiko tinggi atau tidak. Demi amannya ya tidak usah pangkas rambut.
Maka bila saya tetap tidak memangkas rambut sampai 19 April mendatang sesuai dengan imbauan terbaru dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saya akan mencatat rekor, memiliki rambut yang agak gondrong, menutupi sebagian telinga dan sebagian krah baju.
Hal itu adalah rekor rambut terpanjang yang pernah saya pelihara. Soalnya waktu saya kuliah di paruh pertama dekade 1980-an, era mahasiswa berambut gondrong sudah berlalu.Â
Mencukur kumis dan jenggot pun saya malas. Entah apa yang merasuki saya, kok malasnya gak ketulungan kayak gitu. Mungkin ini sebagai perwujudan obsesi saya di saat masih SMP dulu.
Ya dulu saya pernah berangan-angan jadi penyair karena menyukai puisi-puisi WS Rendra. Dan dalam imajinasi saya, penyair tulen itu penampilannya berambut gondrong dan brewokan.
Nasib berkata lain, saya tidak kuliah di Fakultas Sastra, melainkan di Fakultas Ekonomi. Kemudian "terjerumus" jadi orang kantoran sampai sekarang.
Jadi, dengan WFH saya seperti merasa sudah jadi seorang penyair saja. Pura-puranya begitu.